Rabu, 06 Februari 2013

“Dayung Patah” DPD


“Dayung Patah” DPD
Feri Amsari ;   Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas
KOMPAS, 06 Februari 2013


Parlemen adalah ”biduk yang dikayuh” Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.
Kedua lembaga itu dirancang mengayuh bersama agar biduk melaju seimbang. Namun, faktanya biduk parlemen didominasi ”kayuhan politik” DPR, sedangkan DPD mengayuh dengan ”dayung patah”. Dayung patah yang dimiliki DPD merupakan analogi terhadap kewenangan yang tak berfungsi semestinya. Ketentuan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) hanya memberi DPD kewenangan mengusulkan rancangan UU berkaitan dengan kedaerahan kepada DPR. Tak lebih tak kurang! Itu sebabnya berkembang pendapat, alih-alih jadi lembaga legislatif, DPD hanyalah ”pembantu” DPR di parlemen. Sekali lagi, ibarat penumpang biduk dengan dayung patah!
Karamnya Bikameral
Kondisi itulah yang membuat DPD mengajukan pengujian UU MD3 dan UU PPP ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para senator (baca: anggota DPD) memohon kepada MK untuk melibatkan DPD secara aktif pada seluruh tahapan pembahasan UU dari proses pengusulan hingga persetujuan. Meski permohonan ”maha penting” itu luput dari liputan media, jika dikabulkan, putusan MK akan mengubah arah biduk parlemen. Dari semula DPR sangat an sich menjadi dua kamar parlemen yang sama kuat (strong bicameral).
Umumnya, parlemen berkamar ganda terdiri dari kamar-tinggi (upper house) dan kamar-rendah (lower house). Kedunya punya posisi sama kuat dalam pembentukan UU. Di AS, kamar-tinggi (Senat) dan kamar-rendah (House of Representative) punya kewenangan sama kuat dalam pembentukan UU.
Pembatasan kewenangan kamar-tinggi lumrah terjadi pada beberapa negara kerajaan dengan sistem pemerintahan parlementer. Inggris dan Kanada adalah contoh bagaimana kewenangan kamar-tinggi dibatasi dalam pembentukan UU, tetapi kamar-tinggi diberi kekuasaan lain. House of Lords, kamar-tinggi di Inggris, bahkan merangkap sebagai pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi. Secara filosofi, pembatasan kewenangan kamar-tinggi berkaitan dengan ide kedaulatan rakyat di parlemen. Meski anggota kamar-tinggi di Inggris dan Kanada diangkat oleh ratu/gubernur jenderal, mereka tak dianggap sebagai perwakilan langsung rakyat. Itu sebabnya fungsi pembentukan UU menjadi kewenangan kamar-rendah, House of Common, yang dipilih melalui pemilu.
Oleh karena itu, tidak tepat melihat keberadaan DPD berdasarkan sistem Inggris dan Kanada. Selain berbeda bentuk negara, setidaknya terdapat dua alasan DPD tidak dapat disamakan dengan House of Common Inggris. Pertama, DPD dipilih secara langsung. Bahkan, pemilihan DPD lebih murni sebagai representasi rakyat dibandingkan pemilihan DPR yang ”terkontaminasi” kepentingan parpol. Kedua, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial sebagaimana diterapkan di Amerika.
Bahkan, di banyak negara yang menganut sistem presidensial dengan dua kamar parlemen, kewenangan seimbang antara kamar-tinggi dan kamar-rendah merupakan ciri penting negara hukum. Keseimbangan dan kesetaraan kedudukan (checks and balances) ini dapat terlihat dari seimbangnya fungsi dan kewenangan dua kamar di parlemen.
Ketimpangan kewenangan antar-kamar di parlemen pada dasarnya bertentangan dengan ciri penting konsepsi negara hukum. Albert Venn Dicey dan Immanuel Kant berkeyakinan, dalam negara hukum mekanisme checks and balances harus diterapkan. Lord Bingham bahkan mengecam setiap langkah politik kebijakan yang tak menghormati konsepsi negara hukum (baca Gerhard van der Schyff, 2010).
Langkah DPD membenahi pelanggaran konsepsi negara hukum ke MK merupakan pilihan penting. Tak hanya karena mustahil berharap pada DPR untuk membenahi UU itu, tetapi juga penting bagi publik mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di parlemen. Pada beberapa sidang di MK, terungkap beberapa ”borok” parlemen. Misalnya, tabiat DPR dalam mengundang DPD untuk membahas sebuah RUU.
DPD sering mendapat undangan rapat dari DPR dalam hitungan jam sebelum rapat dimulai. Birokrasi seperti itu, selain menunjukkan alpanya profesionalitas, juga memperlihatkan rendahnya posisi DPD di mata DPR. Di persidangan MK terungkap pula dugaan aspirasi rakyat yang dikumpulkan DPD acap dikalahkan kepentingan parpol anggota DPR.
Karut-marut dua kamar parlemen dapat dibenahi melalui putusan MK. Putusan itu tinggal menunggu hitungan hari yang akan menentukan arah biduk parlemen puluhan tahun ke depan. Mungkinkah MK membiarkan DPD terus mengayuh dengan dayung patah atau akan terjadi reformasi penting dalam ranah legislasi nasional? Jika putusan MK progresif, parlemen akan berlabuh pada kepentingan rakyat. Namun, jika MK berbeda pendapat, bukan tidak mungkin biduk bikameral akan karam.
Putusan MK
Sejauh pengamatan penulis, MK banyak memutus pengujian UU yang mengubah peradaban hukum Tanah Air, bahkan yang berkaitan dengan posisi DPD di dalam parlemen pun pernah diputus MK. Hal ini dapat dibaca dalam putusan MK Nomor 117/PUU-VII/2009 terkait hak pencalonan anggota DPR dan DPD sebagai ketua MPR. Dalam putusan ini, majelis hakim MK menyatakan, kedudukan DPR dan DPD setara sebagai lembaga perwakilan. MK tentu akan konsisten dengan cara pandang dalam putusan ini. Kuat dugaan akan terjadi reformasi parlemen lewat putusan MK, kecuali jika hakim MK terjebak ”sejarah masa lalu” bersama DPR.
Bagaimanapun, sebagian besar hakim MK merupakan pilihan DPR dan/atau pernah jadi anggota DPR. Namun, prasangka itu menjadi tak berdasar jika melihat status negarawan yang di sandang hakim MK. Apalagi, beberapa hakim akan mengakhiri masa jabatannya, yang tentu mereka akan menutup kariernya melalui putusan bersejarah bagi pembenahan parlemen Tanah Air. Mari kita tunggu ”gebrakan” MK berikutnya! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar