Sabtu, 23 Februari 2013

Dalam Moncong Oligarki


Dalam Moncong Oligarki
F Budi Hardiman Pengajar Filsafat Politik di STF Driyarkara
KOMPAS, 23 Februari 2013


Claude Lefort (1988) pernah menulis bahwa demokrasi meninggalkan bayangan organis yang ada di dalam rezim otoriter sehingga lokus kekuasaan menjadi sebuah ruang hampa.
Ditopang oleh penghapusan penanda-penanda kepastian”, dalam demokrasi rakyat mengalami ”indeterminasi fundamental”. Keadaan ini berlangsung dalam demokrasi elektoral. Ketika demos berarti voters, kita tidak dapat memastikan kehendak demos itu lepas dari kekuatan-kekuatan bisnis-politis yang mengendalikan voters. Akibatnya, demokrasi elektoral sulit mewujudkan definisi demokrasi, yaitu pemerintahan oleh yang diperintah karena demos dikendalikan kuasa segelintir orang superkaya yang sejak Aristoteles disebut ”oligarki”. Sampai menjelang Pemilu 2014 ini, demokrasi kita tidak juga menjauh dari moncong oligarki.

Preferensi Dalam Demokrasi

Setelah Orde Baru tumbang, Indonesia menempuh jalan demokratisasi. Ada lima preferensi politis atau gambaran tentang good life untuk mengisi demokrasi menurut Michael Walzer (1995), yaitu komunitas politis, ekonomi kooperatif, pasar bebas, kebangsaan, dan masyarakat warga (civil society). Di bawah tekanan krisis ekonomi parah 1998, Indonesia pasca- Soeharto meninggalkan kebangsaan sebagai preferensi dan mengambil preferensi lain, yaitu pasar bebas. Perubahan ini mengakibatkan—Lefort lagi—mutasi tatanan simbolis masyarakat kita. ”Gramatika kepentingan bangsa” dalam preferensi kebangsaan bermutasi menjadi ”gramatika kepentingan diri” dalam preferensi pasar. Ketika pasar menjadi paradigma dalam mengelola negara, mulai terjadi kekaburan batas-batas antara negara dan pasar, politik dan ekonomi, perilaku kenegarawanan dan perilaku bisnis.

Masalah dalam preferensi pasar adalah orang datang ke pasar dengan sumber-sumber yang tidak setara sehingga terjadi marjinalisasi. Segelintir orang superkaya yang menguasai pasar ikut menentukan arah politik sehingga pasar bebas membuka peluang untuk formasi oligarki bisnis-politis. Pasar sebagai preferensi politis menjadi skandal bagi solidaritas. Pendidikan dan pelayanan kesehatan dikomersialkan sehingga kian sulit dijangkau rakyat. Media massa terjerat logika industri sehingga kian kurang mencerminkan aspirasi publik. Gerakan LSM terfragmentasi dan sibuk dengan donor mereka sehingga tak mampu beroposisi terhadap preferensi pasar itu sendiri.

Dengan pasar sebagai preferensi, partai-partai politik sebagai pilar demokrasi juga berperilaku bagai perusahaan bisnis yang menjual produk, yaitu kandidat mereka. Seperti dianalisis Andreas Ufen (2009), partai-partai itu berkembang menjadi ”partai-partai kartel”, yakni partai yang melekat pada negara, teralienasi dari masyarakat, dan didominasi oleh para pejabat publik. Di bawah kuasa elite partai dengan kepribadian otoriter, para kader mereka kurang memiliki akses dalam pengambilan keputusan. Yang terbangun di dalamnya bukan demokrasi, melainkan oligarki dengan uang—bukan solidaritas—sebagai motivator induk. Bagaimana partai-partai kartel yang secara internal belum demokratis ini bisa mendemokratisasi sistem politis dan masyarakat?

Melihat ke dalam detail, kita akan menemukan yang lebih menggelisahkan. Wabah korupsi yang berjangkit di kepemimpinan partai membeberkan bagaimana hukum kita bukanlah aturan bagi kesetaraan, melainkan dianggap sebagai aturan pembagian kekayaan antar-oligark melalui ”bagi-bagi” jarahan. Bahkan, demokrasi perwakilan di DPR dalam praktik lebih mencerminkan kuasa suatu kalangan terbatas yang menghadapi demos bukan sebagai tujuan, melainkan alat memperkaya diri. Tak salah jika pengamat luar seperti Jeffrey A Winters (2011) menyebut demokrasi kita ”demokrasi kriminal”.

Di Indonesia, agama dianggap solusi untuk segala problem, tentu saja termasuk skandal solidaritas yang diakibatkan oleh pasar. Oleh kelompok-kelompok tertentu, agama diambil sebagai preferensi untuk mengatasi amoralitas pasar. Demokrasi dan sekularisme dianggap penyebab dekadensi akhlak dan iman. Kalangan Islam politis bertekad mencangkokkan syariah ke dalam sistem hukum modern. Justru lewat demokrasi, jumlah daerah yang melakukan formalisasi syariah dalam bentuk perda meningkat. Apakah dengan cara itu skandal solidaritas dapat diatasi?

Jawabnya, tidak. Menyimpang dari nilai-nilai inklusif negara hukum modern, perda-perda syariah dianggap diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok berkeyakinan lain. Bahkan, ketika berhasil menyelinap ke tingkat nasional dalam bentuk UU, regulasi religius seperti itu dapat merusak toleransi beragama. Agama yang dijadikan preferensi politis tak dapat mengatasi skandal solidaritas, melainkan menghasilkan skandal lain, yaitu skandal bagi pluralitas. Dari perspektif demokratisasi, sukses implementasi syariah di tingkat lokal merupakan ironi karena ruang kebebasan dan kesetaraan yang dibuka oleh gerakan reformasi justru diisi dengan penolakan atas kebebasan dan kesetaraan dengan alasan religius. Yang diuntungkan dari gerak melawan kebebasan dan kesetaraan ini tentu saja bukan demos, melainkan segelintir orang yang tahu bagaimana memainkan simbol-simbol religius untuk meraih kepatuhan warga. Sebagai politik, bahasa agama tak lagi autentik karena berubah jadi alat manipulasi massa. Dengan cara itu pula, agama sebagai preferensi politis tak kebal dari kepentingan predatoris segelintir orang.

”Quo vadis” demokrasi?

Ada alasan kuat untuk menilai bahwa Indonesia pasca-Soeharto jauh berbeda dari Indonesia era Soeharto. Di samping kebebasan pers, penghapusan dwifungsi militer, penegakan HAM, dan sebagainya, pergantian rezim secara damai adalah prestasi demokrasi yang sangat penting. Namun, yang dihasilkan itu baru wadah kosong, yaitu formasi sistem demokratis. Alih-alih etos demokratis, etos oligarkis yang telah ada sejak Orba mengisi wadah baru itu. Mereka yang mendapat kekuasaan terlegitimasi lewat pemilu mendapat fasilitas untuk membangun kerajaan-kerajaan kepentingan privat mereka.

Jika demokrasi dimengerti sebagai pemerintahan oleh demos, harus dikatakan bahwa kita tidak sedang menuju ke sana, melainkan menuju sebentuk demokrasi dengan isi kekuasaan-kekuasaan oligarkis. Kita boleh berbagi dengan pendapat Jacques Ranciere dalam The Hatred of Democracy bahwa ”kita tidak hidup dalam demokrasi-demokrasi”, melainkan ”dalam negara-negara dengan hukum oligarkis”. Jadi, masalah sesungguhnya bukan preferensi, melainkan para oligark yang menggunakan preferensi itu untuk kepentingan predatoris mereka.

Oligarki bisa dibatasi oleh hukum, tetapi jika legislasi hukum tak berasal dari masyarakat warga, melainkan dari kekuatan oligarkis, hukum itu justru akan memberdayakan oligarki. Tak mungkin demos dilepaskan dari moncong oligarki jika yang riil memerintah para oligark bisnis-politis. Karena itu, sukses demokratisasi tak hanya diukur dengan sukses pemilu, melainkan juga sukses penguatan masyarakat warga. Agama dan pasar hanya mewujudkan kesetaraan eksklusif untuk kalangan tertentu, entah kalangan berpunya atau kalangan sepaham. Mencakup semua preferensi, masyarakat warga berjuang untuk kesetaraan inklusif yang membatasi formasi oligarki.

Mengingat impotennya sistem hukum dan masih lemahnya masyarakat di Indonesia, melepaskan demos dari moncong oligarki masih seperti wishful thinking. Namun, bukankah demokratisasi sebuah perjuangan bersama? Pemerintahan mana pun yang terbentuk setelah Pemilu 2014 harus punya komitmen tak hanya untuk menguatkan sistem negara hukum, melainkan juga memberdayakan institusi masyarakat. Tanpa komitmen itu, demokrasi hanya akan mengumpankan demos ke dalam moncong oligarki sebagaimana terjadi sampai saat ini. Itulah sebabnya keadaan kita masih saja bisa dilukiskan lewat judul novel Christopher Koch, The Year of Living Dangerously. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar