ADALAH benar
bahwa setiap orang bisa berbuat salah dan berhak memperbaiki diri. Juga
benar bahwa rakyat harus percaya kepada pemimpinnya agar pemerintahan dapat
berjalan maksimal. Tapi, bukankah sejak lama Mahatma Gandhi mengingatkan
bahwa faith must be enforced by
reason. When faith becomes blind, it dies. Intinya,
kepercayaan harus didasarkan pada alasan. Jika kepercayaan diberikan tanpa
alasan, ia akan menjadi buta. Tentu kita semua paham bahwa kepercayaan yang
buta akan cenderung disalahgunakan oleh penerimanya.
Demikian halnya
dengan kepercayaan kita sebagai rakyat kepada politisi. Rasanya sulit untuk
kembali percaya kepada politisi karena sudah kali kesekian politisi
tertangkap melakukan suap. Mulai korupsi wisma atlet, Hambalang, pengadaan
Alquran, sampai korupsi dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID). Kini
giliran Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), presiden PKS, ditetapkan sebagai
tersangka dan ditahan karena dugaan suap sapi impor.
Penangkapan LHI
merupakan langkah lebih lanjut KPK yang telah menangkap tangan Ahmad
Fathanah yang diduga teman dekat LHI karena menerima suap dari pengurus PT
Indoguna Utama. Ditengarai suap senilai Rp 1 miliar itu digunakan untuk
memuluskan pemenangan tender sapi impor kepada PT Indoguna Utama.
Korupsi dan Korporasi
Kasus suap
semacam ini bukanlah modus baru. Selama 2012, kita disuguhi drama berburu
persenan parpol di sejumlah proyek kementerian. Sejumlah parpol menyatakan,
biaya politik yang harus dikeluarkan sangatlah tinggi. Syahwat mengeruk
uang negara semakin menjadi pada 2012. Dalam Trend Corruption Report 2012, PuKAT Korupsi mencatat,
pemerintah pusat dan daerah bekerja sama dengan politisi di lembaga
perwakilan dan swasta dalam pemenangan tender. Berkaca pada suap wisma
atlet, Nazaruddin (Nazar), politikus Partai Demokrat (PD), bekerja sama
dengan oknum kementerian dan swasta. Dalam hal aktor swasta, Grup Permai
menjadi perusahaan yang dikendalikan Nazar agar bisa memenangkan proyek
wisma atlet dan memberikan sejumlah fee.
Pengungkapan
kasus Nazar bukanlah hal yang mudah bagi KPK. Meski akhirnya bisa menghukum
politikus kelas atas dan pejabat teras Kemenpora, korupsi wisma atlet masih
menyisakan kerisauan. Nazar dan pelaku lainnya tidak didakwa atas tindak
pidana pencucian uang (TPPU) dan Grup Permai -yang nyata-nyata berdasar
persidangan digunakan untuk motif jahat- sama sekali tidak diberi sanksi.
Padahal, pasal
20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) mengatur mengenai
hukuman yang bisa diberikan kepada korporasi. Akhirnya, Nazar dan
kawan-kawan dipidana dengan hukuman yang tidak maksimal dan perusahaannya
masih eksis. Belum lagi, pernyataan Nazar soal aliran fee dalam konvensi PD sampai saat ini
masih menjadi tanda tanya.
Pasal Pencucian Uang
Mengacu pada
pengalaman penanganan suap wisma atlet, seharusnya KPK dapat lebih cermat
dalam mengusut suap impor sapi. Pertama, mata rantai
pelaku harus bisa diungkap tuntas. LHI terbilang "orang luar"
dalam pengadaan sapi impor. Tentu saja ada otoritas yang bertanggung jawab
dalam pengadaan sapi impor. Sebut saja Kementerian Pertanian (Kementan).
Sangat mungkin, sejumlah oknum Kementan juga terlibat dalam pemulusan jalan
berburu persenan tersebut. Tak hanya itu, politisi PKS dan politisi lainnya,
baik yang ada di DPR maupun fungsionaris, harus diperiksa.
Kedua, KPK harus berani menggunakan
pasal 20 UU PTPK dan TPPU karena bisa jadi telah terjadi permufakatan jahat
untuk mencuci uang (money laundering) dari fee tersebut agar
tidak bisa diketahui penyidik. Ataufee itu
patut diduga bukanlah yang pertama karena sejak lama publik mencium adanya
praktik kotor impor sapi. Sebelum pelaku kasus tersebut tertangkap tangan,
gelagat kongkalikong dalam impor sapi sudah diberitakan media.
Ketiga, parpol mana pun
yang politisinya kedapatan menerima suap seharusnya malu dan berbesar hati.
Malu karena mereka melalaikan janji-janji pemberantasan korupsi. Dan
berbesar hati mendukung segala proses hukum berjalan untuk "cuci
dosa". Sebab, di sinilah komitmen parpol diuji, benarkah mereka punya
niat baik untuk memberantas korupsi di dalam tubuhnya sendiri. Demikian
halnya dengan PKS, suap impor sapi bisa dijadikan media untuk membersihkan
diri dari praktik kotor. PKS harus mau membuka diri, bukan justru melawan proses
hukum terhadap LHI. Sekali lagi, membuktikan jargon pemberantasan korupsi
juga bisa diterapkan ke dalam dirinya.
Menjelang
Pemilu 2014, praktik korupsi politik diprediksi semakin marak dan
terang-terangan. Kita sebagai masyarakat harus terus waspada, jangan sampai
kembali terbujuk rayuan parpol korup. Publik harus memberikan pelajaran
kepada parpol. Bukan berarti parpol harus dihilangkan dari bumi Indonesia.
Yang perlu dilakukan adalah menjadi pengawas yang baik, memberikan masukan
dan kritik. Bukan tidak mungkin, kelak korupsi politik berkurang karena
publik tidak lagi permisif dan larut dalam fanatisme semu kepada parpol. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar