Sabtu, 02 Februari 2013

Cetak Biru Indonesia


Cetak Biru Indonesia
Indra J Piliang ; Ketua Balitbang DPP Partai Golkar
SUARA KARYA, 31 Januari 2013
  

Dalam dua tahun ke depan, bangsa ini akan disibukkan dengan pemilihan calon-calon pemimpin di legislatif dan eksekutif. Pekerjaan rutin dalam demokrasi prosedural, seperti halnya kita memilih calon-calon kepala daerah. Berganti-gantinya pemimpin menjadi pandangan keseharian. Jarang, ada nama tokoh (politik) jadi fenomenal, lalu hinggap lama di benak masyarakat.
Ada api dan ombak besar di tempat duduk para pemimpin. Kursi menjadi cepat panas sebelum banyak pekerjaan selesai. Hadirnya kebebasan berbicara membuat posisi apa pun mudah digunjingkan. Mau artis, selebritas, apalagi politikus. Padahal, guna mewujudkan impian pembangunan yang besar, misalnya, kekuasaan yang stabil dan loyal diperlukan. Satu wujud Indonesia masa lalu, ketika demokrasi kurang hadir.
Lalu, bagaimana caranya agar Indonesia memiliki cetak biru pembangunan yang tidak terganggu oleh perubahan (pimpinan) politik dan pemerintahan? Di sinilah masalahnya. Tidak ada kepastian apa pun bahwa satu program yang dirintis oleh sebuah rezim wajib diteruskan oleh rezim berikutnya, baik di level presiden, menteri, maupun kepala daerah. Seolah program itu identik dengan orang. Berganti orang, bisa dengan mudah berganti program.

Padahal, cetak biru diperlukan agar terjadi kesinambungan pembangunan. Berapa kilometer jalan lagi yang harus dibangun di Pulau Jawa? Kapan Selat Sunda memiliki jembatan? Apakah jalur kereta api trans-Kalimantan akan dibangun? Berapa jumlah armada kapal dagang dan kargo yang ideal dimiliki Indonesia? Idealnya, jumlah total PNS yang menghabiskan anggaran pusat dan daerah, berapa banyak? Adakah jaminan pusat pemerintahan dipindahkan ke Kalimantan, lalu proses pembangunannya selama 20 tahun akan dilaksanakan oleh rezim (politik) mana pun, sekalipun berbeda partai?
Sebuah cetak biru Indonesia untuk 25 tahun sampai 50 tahun ke depan layak dirumuskan, lalu disosialisasikan sejak sekarang. Satu dan dua generasi akan dipertaruhkan. Kenapa penting? Guna melihat ada perubahan di Indonesia, sehingga kita tidak terus terpenjara dalam kungkungan kebijakan lama atau bahkan oleh repetisi saja. Berbagai beban kehidupan selama ini boleh jadi karena ada kesalahan dalam desain, misalnya pembangunan dan kemajuan Jakarta yang pesat hingga meninggalkan daerah lain.
Parpol juga memerlukan cetak biru itu sehingga bisa melakukan apa yang dikenal sebagai permanen campaign atau kampanye terus-menerus menuju apa yang sudah disepakati. Apalagi sekarang, sulit mendapatkan orang besar dengan ide besar. Yang banyak adalah orang kecil dengan ide sama kerdilnya. Dengan banyaknya lulusan perguruan tinggi berjenjang pendidikan maksimal, sebetulnya ide-ide besar yang bersifat kolektif bisa disepakati. Teknologi informasi yang berkembang pesat sanggup menjadi medium untuk menyampaikan ide sebesar dan seberat apa pun kepada publik luas.
Menjelang tahapan pemilu yang akan berlangsung sebaiknya formulasi ide-ide besar itu lebih diutamakan. Setelah itu dicarikan tokoh-tokoh atau manusia-manusia yang tepat guna menjalankan ide-ide besar itu. Bukan sebaliknya, mencarikan manusianya dulu, lalu manusia itu yang merumuskan ide-ide tertentu dan menjalankannya. Kontrak sosial antara penduduk Indonesia berusia dewasa (pemilih) mestinya terletak dalam visi bersama yang sudah disepakati, lalu disetujui oleh pemilih.
Kalau hanya sekadar mencari siapa yang layak jadi pemimpin, sungguh sia-sia banyak anggaran dikeluarkan. Penyamaan persepsi di kalangan pemilih tentang "Cetak Biru Indonesia"-lah yang patut didahulukan, bukan menyepakati siapa partai yang layak menang atau presiden yang bisa dipercayai. Itu sama saja dengan sebuah kontrak yang halamannya kosong diserahkan kepada siapa para pihak yang menandatanganinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar