Selasa, 19 Februari 2013

Black Hawl Lebih Rasional


Black Hawl Lebih Rasional
Kiki Syahnakri Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat
KOMPAS, 19 Februari 2013


TNI Angkatan Darat berencana membeli 44 helikopter, terdiri dari 24 unit Bell 412 dan 20 unit Black Hawk.

Pengadaan itu merupakan bagian dari pengorganisasian alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI AD. Demikian disampaikan KSAD Jenderal Pramono Eddy Wibowo dalam Kompas edisi 12 Februari lalu.

Dengan kata lain, pembelian helikopter itu merupakan bagian dari rencana pembangunan postur TNI AD. Formula pembangunan postur militer seharusnya mengalir dari proses penghadapan (wargaming) antara ancaman nyata maupun potensi yang dihadapi dan filosofi pertahanan dan politik luar negeri yang dianut. Dari sana dibangun konsepsi sistem pertahanan atau doktrin, yang secara hierarkis berupa doktrin dasar, induk, dan pelaksanaan. Kemudian, berdasarkan doktrin ini dibuat konsep pokok pengorganisasian militer.

Di sisi lain, dari inventarisasi jenis ancaman yang mungkin dihadapi, didapatkan jenis-jenis operasi militer yang mungkin akan dilaksanakan. Selanjutnya, dari penghadapan antara konsep pengorganisasian dan jenis operasi militer yang mungkin dilaksanakan itulah diperoleh postur yang diinginkan. Postur militer terdiri dari aspek kekuatan, kemampuan, dan penggelaran. Hemat saya, kurang tepat jika postur TNI dibangun untuk tujuan perimbangan kekuatan karena akan menimbulkan persaingan senjata yang tak sehat dan membahayakan stabilitas keamanan di kawasan.

Tepat Guna

Berdasarkan paradigma di atas, Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008 yang masih berlaku sampai saat ini menempatkan ancaman militer berupa pemberontakan bersenjata, terorisme, pelanggaran wilayah, sabotase, dan konflik komunal sebagai ancaman yang paling mungkin dihadapi. Bahkan, kini, dalam iklim kebebasan nyaris tanpa batas yang diembuskan liberalisme, konflik komunal dengan berbagai macam latar disertai tindakan kekerasan tampaknya kian meluas dan meningkat sehingga dinilai dapat membahayakan keselamatan dan keutuhan bangsa. Selain itu, negeri ini secara kodrati memiliki potensi bencana alam yang luar biasa besarnya. Potensi ini pun kian bertambah besar karena kita abai terhadap masalah lingkungan.

Tanpa mengabaikan kemungkinan (kecil) operasi militer konvensional, maka jenis operasi militer yang paling mungkin dilaksanakan TNI adalah operasi lawan gerilya, penanggulangan teror, patroli dan pengawalan perbatasan, operasi intelijen, dan teritorial. Selain melaksanakan tugas perbantuan kepada Polri dalam upaya mencegah, meredakan, atau mengatasi berbagai macam konflik, yang kerap dilakukan adalah tindakan pertolongan darurat, mitigasi, dan rehabilitasi atas bencana alam.

Dalam melakukan operasi militer serta semua kegiatan di atas, TNI dituntut memiliki kemampuan mobilitas tinggi sehingga deployment pasukan dapat dilakukan dalam waktu singkat dan masif. Dalam konteks ini, rencana pengadaan kedua jenis helikopter tadi dinilai sangat tepat, terlebih bila dihadapkan pada konfigurasi wilayah Nusantara dengan segenap karakteristiknya. Jumlah 44 unit atau hampir 3 skuadron besar sangat mungkin untuk di bawah kendali operasikan atau dalam status earmarked bagi beberapa kodam yang memiliki daerah panas dalam wilayahnya sehingga setiap ancaman militer yang dihadapi dapat diantisipasi dan diselesaikan ketika masih embrional.

Helikopter Bell 412 buatan Bell Helicopter Textron ini sudah lama diproduksi PTDI Bandung sehingga TNI, khususnya Pusat Penerbangan TNI AD, sudah sangat terbiasa dengan helikopter jenis ini. Populasinya pun sangat besar, versi militernya digunakan oleh lebih dari 40 negara sehingga tak sulit mendapatkan suku cadangnya di pasar internasional. Adapun Black Hawk, helikopter serbaguna buatan Sikosrsky Aircraft yang dioperasikan sejak 1978, merupakan helikopter canggih yang kini melegenda.

Sama halnya Bell 412, populasinya kini sedang mendunia. Negara tetangga yang sudah mengoperasikan atau memesannya adalah Australia, Singapura, Malaysia, Brunei, Thailand, dan Flipina. Karena daya angkut dan kemampuan mobilitasnya tinggi, Black Hawk milik AS, Australia, dan Singapura sangat berjasa menangani tsunami di Aceh dan Nias pada 2006. Demikian pula jika dihadapkan pada potensi ancaman yang dapat muncul tiba-tiba, kedua jenis helikopter itu sangat efektif memindahkan pasukan secara airlift dan pendorongan logistik.

Dilihat dari kacamata perawatan pasca-penjualan dan kemungkinan alih teknologi, pembelian kedua jenis helikopter itu sangat menguntungkan. Ini disebabkan selain PTDI sudah memproduksi Bell 412, pada masa lalu TNI AU juga pernah mengoperasikan Sikorsky S 58T Twin Pack yang merupakan generasi terdahulu Black Hawk. Selain itu, kita sudah memiliki cukup pengalaman dalam pengoperasian dan perawatannya, juga sudah terbuka jalan bagi proses alih teknologi kedua jenis helikopter tersebut.

Perlu Didukung

Rencana pengadaan 44 unit helikopter itu perlu didukung penuh pemerintah dan DPR, bahkan seharusnya ditempatkan pada skala prioritas tertinggi karena jauh lebih rasional dan realistis ketimbang pengadaan Tank Leophard. Namun, hendaknya jangan ditinggalkan masalah prinsip dalam setiap pembangunan kekuatan militer. Pertama, pengembangan kekuatan tanpa disertai peningkatan kemampuan dan kesejahteraan yang memadai adalah bom waktu yang sangat berbahaya. Kedua, harus sesuai dengan realitas kemampuan ekonomi nasional. Apabila tidak, alutsista yang dibeli dengan cepat akan jadi besi tua karena tak mampu membeli suku cadang. Ketiga, harus konsisten pada skala prioritas yang ditentukan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar