Sabtu, 02 Februari 2013

Bila Ibadah Tak Mencegah Korupsi


Bila Ibadah Tak Mencegah Korupsi
Saratri Wilonoyudho ;  Dosen Universitas Negeri Semarang,
Aktivis Jamaah Gambang Syafaat Masjid Baiturrahman, Semarang
JAWA POS, 01 Februari 2013
  

JIKA benar LHI presiden parpol yang mengaku partai bersih terbukti korupsi, kiamatlah jagat politik di Indonesia. Kalau sekelas dia sudah tidak dapat dipercaya lagi, kepada siapa kita menggantungkan nasib negeri? Banyak orang bertanya mengapa orang-orang yang pengetahuan dan praktik beragamanya sudah tinggi masih juga korupsi? 

Jawaban sementara adalah mereka baru sebatas menjalankan syariat agama. Syariat agama, seperti salat, puasa, zakat, haji, dst, baru sebatas "metode wajib" dan bukan tujuan. Sialnya, orang sudah merasa beragama dan mendapat tiket surga jika sudah melaksanakan "metoda wajib" tersebut. Padahal, orang beragama yang masih korup berarti dia belum bertauhid. 

Tauhid bukan berarti hanya mengesakan Tuhan. Kalau dia belum mampu menggabungkan diri ke Tuhan, ketika berwudu, misalnya, dia juga belum sadar bahwa wudu itu mestinya tidak saja berarti membersihkan kotoran badan, namun juga harus membersihkan kotoran jiwa. 

Dalam salat, muslim (apalagi pejabat negara), setelah takbiratul ihram (takbir yang melepaskan diri dari urusan duniawi) bernjanji: "Salatku, ibadahku, hidup, matiku ... hanya untuk Allah semata". Ketika membaca Al Fatihah dalam salat, dia juga selalu mohon: "Ya, Allah tunjukkan aku ke jalan yang lurus (menegakkan)", dan permohonan ini dilakukan setidaknya 17 kali setiap hari. 

Kalau Anda menjamu seorang tamu dan dia meminta segelas air, dan Anda memberinya, tapi tak diminum sampai 17 gelas, bahkan lebih, kira-kira bagaimana sikap Anda? Anda pasti menganggap dia gila. Meminta minum, sudah diberi 17 gelas masih juga tidak diminum dan (lebih gila lagi) dia masih meminta terus. Lalu kira-kira bagaimana sikap Allah ketika umatnya dalam salat minta ditunjukkan jalan yang lurus, tapi tetap saja korupsi (misalnya)?

Bukankah dalam salat kita juga bersumpah tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah? Boleh dan logiskah kita yang mengakui adanya Allah namun menyakiti ciptaan-Nya (memakan harta rakyat, merusak hutan, dan tambang, dan mengganggu kemaslahatan rakyat yang lain)? Bukankah dalam salat kita juga berjanji saling menyelamatkan untuk mengubah "rahmatullah" menjadi "barakah" kepada orang-orang yang punya "piring dan cangkir" yang bersih? 

Karena itu, jika selesai salat kita korupsi atau menyakiti tetangga, apakah ini berarti kita telah mendirikan salat? Jawabnya, jelas tidak. Inilah mengapa Indonesia yang hampir 96 persenvpenduduknya memeluk Islam, dan bahkan, mungkin, 100 persen pejabatnya pernah pergi haji, ternyata merangkak pelan sekali dari kubangan korupsi. Sebaliknya, Swedia dan negara-negara Skandinavia lainnya -meski tidak beragama Islam- dihormati sebagai negara paling bersih di dunia. 

Padahal, Islam mengajarkan kedisiplinan, kejujuran, kasih sayang, moral, akhlak, dan sebagainya, namun sayang tidak dapat diamalkan oleh umatnya. Kalau baru tingkatan akhlak belum sampai, bagaimana bisa sampai tingkatan takwa? 

Ketika pejabat negara berhaji melontar jumrah, misalnya. Dia mestinya juga sadar bahwa dia tidak sekadar melempari tugu sebagai benda yang mati, namun sedang melempari setan. Karena itu, ketika kembali ke tanah air dan ke kantornya, dia juga tetap harus melempari setan yang mengajaknya korupsi.

Artinya, harus mampu menolak segala kebatilan dan kejahatan yang menjauhkan dirinya dari Allah dan Rasulullah. Seorang pejabat yang sangat rajin salat tentu harus ingat bahwa ketika sujud, dia merendahkan mukanya, dan justru pantatnya yang lebih tinggi dibanding mukanya. Padahal, muka adalah lambang kemartabatan. Namun, toh dia masih memuji Allah yang Mahatinggi. Tentu jika mengamalkan sujud tersebut dalam keseharian, dia akan malu jika martabatnya tercoreng karena korupsi.

Melalui Rasulullah, Allah berfirman: "Ketika Aku mencintai seorang hamba, Aku Tuhan adalah telinganya sehingga dia mendengar dengan Aku, aku adalah matanya sehingga ketika melihat dengan Aku, dan aku adalah lidahnya sehingga dia berbicara dengan Aku, dan Aku adalah tangannya sehingga dia mengambil dengan Aku".

Kalau seseorang telah mampu menggabungkan diri ke Allah (tauhid), dia juga akan dapat memantulkan 99 nama Allah itu dalam perilaku kehidupannya. Seorang pejabat negara yang sudah sampai taraf ini akan lebih mudah mengamalkan sifat Allah, misalnya al-Adl, yakni adil dalam setiap tindakan. 

Keadilan adalah titik sentral dari "lingkaran asma Allah". Kalau adil, pasti dia juga akan rahman dan rahim, cinta yang meluas sekaligus mendalam. Apalagi jika sudah sampai al-mukmin, dia harus menjadi indikator utama, bahwa kalau ada dia (sang pejabat itu), rakyat akan aman hartanya, jiwanya, dan martabatnya.

Dengan kata lain, orang-orang yang beragama, tapi masih korup adalah orang sebenarnya masih percaya adanya Tuhan, namun tidak percaya atau setidaknya melupakan janji-janji Tuhan, sifat-sifat Tuhan, keagungan Tuhan. Karena itu, ketika disumpah di pengadilan, misalnya, di bawah kitab suci dan menyebut "demi Allah", dia tetap enteng berbohong. Dia bisa pulang dengan kepala tegak, senyum lebar, melambaikan tangan ketika pulang bersaksi di pengadilan. Esoknya berangkat umrah!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar