Jumat, 08 Februari 2013

Berisiko, Sengketa Anak Zina di PA


Berisiko, Sengketa Anak Zina di PA
Abd Salam  ;    Wakil Ketua Pengadilan Agama Sidoarjo
JAWA POS, 08 Februari 2013


MAHKAMAH Agung, sebagaimana diberitakan Jawa Pos (5 Februari), membuat terobosan hukum. Yakni, menetapkan hak-hak anak di luar nikah (nikah siri, termasuk nikah muth'ah) berhak mendapatkan nafkah dan pembagian sebagian harta peninggalan bapak biologisnya melalui wasiat wajibah. 

Ketentuan tersebut dimuat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7/2012 hasil pembahasan Komisi Bidang Peradilan Agama. Itu merupakan konsekuensi yuridis atas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam uji materiil atas pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridlwan Mansyur menjelaskan, berdasar Mazhab Hanafi, anak hasil zina berhak mendapatkan nafkah dari ayah biologis dan keluarga ayah biologisnya. Ketika ayah biologis dan keluarga biologisnya meninggal, anak hasil zina juga berhak mendapatkan pembagian wasiat wajibah yang besarnya ditentukan pengadilan agama. Pernyataan tersebut melahirkan pengertian, terjadi sengketa anak hasil zina dengan ayah biologis dan keluarganya, gugatan tersebut menjadi kewenangan pengadilan agama. 

Pendapat tersebut perlu dikaji ulang dari sisi hukum materiilnya maupun hukum formal agar menjadi jelas dan terang tanpa menodai kehormatan ajaran lembaga agama yang dianggap sakral oleh pemeluknya. Dalam negara Pancasila, agama merupakan bagian integral dari sistem yang mengatur ketatanegaraan dan tidak dapat melepaskan agama dari negara. 

UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan adalah undang-undang nasional yang mengikat seluruh warga bangsa Indonesia yang pluralistis agar terjadi ketertiban. Hukum perkawinan adalah hukum yang unik, spesifik tapi universal, karena semua agama mempunyai aturan sendiri, baik secara samar-samar maupun terang-terangan. 

Harus diakui, praktik sehari-hari menunjukkan adanya pluralisme hukum karena adanya golongan masyarakat yang berpegang pada hukum agama atau secara utuh, hukum nasional, maupun hukum adat. Itu bisa menimbulkan friksi. Sebagai negara demokratis, ketika ada warga bangsa (masyarakat) yang merasa terganggu hak konstitusionalnya atas keberlakuan suatu undang-undang, konstitusi atau UUD 1945 memberikan hak untuk menggugat atas keberlakuan undang-undang yang dirasa merugikan.

Keberlakuan pasal 43 ayat (1) UU No 1/1974 oleh Machica Mochtar dianggap merugikan hak konstitusionalnya karena anaknya (Iqbal) sulit mendapatkan status anak sah dari ayah sirinya. MK pun mengabulkan gugatan dia dan menjatuhkan putusan bahwa pasal 43 ayat (1) tersebut harus dibaca: ''Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya punya hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasar ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya''.

Putusan MK tersebut melahirkan pemahaman bahwa dalam tatanan hidup bermasyarakat tidak ada beda kedudukan hukum antara anak sah, anak nikah siri, dan anak zina. 

Sebaiknya ke Pengadilan Negeri 

Lalu, lembaga peradilan manakah yang berwenang mengadili jika terjadi sengketeta antara anak hasil zina dan ayah biologis serta keluarganya?

Kompetensi absolut setiap pengadilan senantiasa didasarkan pada tujuan dibentuk dan diselenggarakannya peradilan. Pengadilan agama di Indonesia dibentuk untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi orang-orang yang beragama Islam, berdasar syariat Islam yang diatur dengan undang-undang sebagai konsekuensi negara Pancasila sehingga keberadaan peradilan agama bersifat khusus dan tertentu. Asas personal keislaman dan asas hukum syariah tidak dapat dipisahkan. Karena itu, jika muncul sengketa antara anak zina dan ayah biologis serta keluarganya, tidak boleh hanya dipandang ''orang Islamnya'', tapi harus pula dilihat untuk kepentingan hukum syariah atau hukum nasional.

Yang menjadi legal reasoning putusan MK untuk mengabulkan permohonan Machica, antara lain, secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa,baik melalui hubungan seksual (coitus) sah atau tidak. Tidaklah adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan sebagai ibunya. Tidak adil jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual tersebut lepas dari tanggung jawab sebagai seorang bapaknya. 

Kelahiran yang didahului dengan hubungan seksual adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban timbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak. Karena itu, hukum harus memberikan perlindungan hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk anak yang dilahirkan, meski keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.

Intinya, MK hanya melihat hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapaknya semata-mata karena ikatan keperdataan an sich, tidak dengan kacamata syari. Dengan demikian, hak-hak keperdataan anak hasil hubungan zina pun harus dilindungi dari ayah biologis dan keluarganya.

Dalam kenyataan sejarah selama ini, tampaknya, syariah Islam, lembaga dan institusi agama Islam, tidak memberikan hak apa pun kepada anak zina: nafkah, biaya hidup, maupun wasiat wajibah. Walaupun, ada pendapat yang dinisbahkan kepada pendapat Hanafiyah bahwa anak hasil zina behak mendapatkan nafkah dari ayah biologisnya.

Syariah Islam begitu kerasnya dalam menjaga kesucian keturunan (hifdz nashl) tersebut, sehingga mencantumkan hukuman yang berat terhadap pelaku perzinaan, yakni 
cambuk atau didera 100 kali atau dirajam (al Hadis). Karena itu, agar tidak menodai ajaran agama dan lembaga agama (Islam), jika terjadi sengketa anak zina dengan ayah biologis maupun keluarganya, sebaiknya penyelesaian dilakukan di pengadilan negeri, bukan di pengadilan agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar