Sabtu, 23 Februari 2013

Bahaya Oligarki Politik


Bahaya Oligarki Politik
Firman Noor Pengajar pada Departemen Ilmu Politik FISIP UI
REPUBLIKA, 21 Februari 2013


Selepas tumbangnya rezim Orde Baru, umat Islam tampak kehilangan musuh bersama. Tidak ada lagi rezim Leviathan yang mengisap dan mengukung demokrasi, seolah menandakan berakhirnya segala persoalan pelik. Namun, apakah memang demikian adanya? Apakah memang musuh kehidupan sudah tidak ada lagi? Ini bukan upaya eskapisme untuk sekadar mencari musuh baru demi menegakkan eksistensi, layaknya negara adidaya yang terus membutuhkan musuh untuk dapat tegak dalam percaturan dunia global. Ini bukan pula sebuah upaya halusinatif yang tidak berdasarkan kenyataan. 
Lebih dari itu, ini adalah sebuah bagian dari perjuangan suci untuk menegakkan kembali nilai-nilai moral dan sistem kehidupan yang sudah makin rusak secara fundamental. Sehingga, layak untuk dikatakan bahwa peperangan bagi tegaknya sistem kemanusiaan belum selesai.

Dalam perkembangan politik hingga 14 tahun reformasi, ada sebuah cacat besar yang terus terjadi. Cacat besar yang sejatinya sudah amat layak dijadikan sebagai musuh bersama, tapi cenderung dianggap sebagai sebuah kewajaran. Hal ini terkait dengan kenyataan oligarki politik yang terus membesar.

Oligarki politik telah menumpulkan rasa empati dan menggerus sensitivitas elite politik dalam melihat realita bangsanya. Saat ini, di tengah kemiskinan yang tak kunjung padam, fenomena bagi-bagi uang hingga triliunan rupiah malah jadi semacam kebiasaan. Fenomena banyaknya politikus yang tertangkap dalam kasus korupsi baru-baru ini, terlepas dia pemain baru atau lama, adalah puncak gunung es dari oligarki politik dan matinya nurani.

Persoalan yang ditimbulkan demikian kompleks, mulai dari sarana dan prasarana kehidupan yang tidak memadai, sulitnya mendapatkan kebutuhan dasar, rendahnya kualitas hidup dan sumber daya manusia Indonesia, hingga semakin menipisnya sumber daya alam. Fenomena oligarkilah yang menyebabkan ide besar otonomi daerah tidak dapat menyelesaikan persoalan dengan memuaskan dan komprehensif. 

Lebih dari itu, oligarki politik juga menyebabkan tergadainya rasa kebangsaan. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana elite politik yang bermental oligarkis rela menetapkan kebijakan yang tidak nasionalistis dan bervisi ke depan. Kesemuanya dilandaskan pada sebuah kepentingan pragmatis-eksklusif jangka pendek dan menafikan keberadaan masyarakat banyak. 

Kerusakan bangsa akibat oligarki sudah sampai pada level yang mematikan dan bahkan layak untuk dikatakan sebagai sebuah penindasan gaya baru. Tapi, tampaknya kita masih dininabobokan bahwa segalanya segera berakhir.

Umat Islam memiliki saham besar terhadap negara ini dan juga era reformasi.
Sebagai salah satu pemilik saham utama, tidak bijak jika umat membiarkan begitu saja arah perkembangan reformasi dan bangsa menuju titik kehancuran.

Dalam pandangan Hasan Hanafi sikap kritis terhadap segala ketidakberesan itu adalah esensi dari kalimat tauhid. Hanafi menafsirkan bahwa pengakuan tentang keesaan Allah harus berarti kesediaan untuk menumbangkan bentuk-bentuk penindasan di dunia ini (dalam Kazuo Shimogaki, 1988). 

Dalam konteks kesaksian aktif itu, umat Islam harus berani mengatakan tidak bagi setiap politikus dan partai politik, termasuk partai politik Islam yang tidak berkomitmen pada nilai-nilai moral keadilan, kejujuran, dan ke manusiaan. Sikap kritis itu tidak hanya dengan menjadi golput dalam pemilu atau menjadi silent majority yang bersikap menunggu (wait and see). Karena, sifat-sifat pasif model itu dalam konteks politik adalah "selemah-lemahnya iman".

Umat Islam harus proaktif dalam mengembangkan wacana sekaligus aksi-aksi konkret dalam upaya menumbangkan oligarksi sebagai biang penindasan anak bangsa. Penyebaran kesadaran akan bahaya oligarki politik, sekaligus pencerahan kepada seluruh masyarakat dan elite politik tentang bagaimana model politik adiluhung yang harus dilakoni harus terus dilakukan. 

Banyak momentum dan media yang dapat digunakan untuk terus menyampaikan pesan itu, mulai dari acara formal kenegaraan hingga pengajian di level kampung. Sementara, dalam bentuk konkret umat dapat memanfaatkan dan bekerja sama dengan berbagai pihak dan jaringan yang berkomitmen dalam upaya menghancurkan oligarki. 

Umat Islam harus menjadi motor bagi penghancuran sarang-sarang oligarki yang daya rusaknya telah lebih hebat ketimbang narkoba atau miras. Demonstrasi umat sepatutnya tidak saja diarahkan bagi pembelaan terhadap tokoh agama saja, tapi atas nama umat dapat ditujukan kepada tokoh ataupun instansi yang dianggap korup dan biang kerok hadirnya oligarki.

Lebih dari itu, umat Islam melalui elemen-elemen yang berkompeten yang dimilikinya harus terus dapat mengawal proses pembenahan sistemis di berbagai bidang. Tujuannya, agar sistem yang nantinya terbangun itu tidak saja dapat melayani seluruh anak bangsa dengan baik, tapi juga dapat bersih dari setiap peluang untuk  memunculkan praktik oligarki politik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar