Selasa, 26 Februari 2013

Antiklimaks Anas Urbaningrum


Antiklimaks Anas Urbaningrum
Paulus Mujiran Alumnus S-2 Universitas Diponegoro, Semarang;
Pemerhati Sosial dan Politik
KORAN TEMPO, 25 Februari 2013


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai tersangka. Anas diduga terlibat kasus Hambalang saat menjadi Ketua Fraksi Demokrat DPR 2009. Menurut juru bicara KPK, Johan Budi S.P., KPK tidak hanya menjerat Anas dalam kasus Hambalang, tapi juga proyek lain. Anas pun dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Selain menetapkan Anas sebagai tersangka, KPK meminta Imigrasi mencegah Anas bepergian ke luar negeri selama enam bulan mendatang. KPK pun menegaskan bahwa keputusan yang dibuat murni proses hukum dan tidak terkait dengan urusan politik. Tak ada pernyataan resmi dari Anas setelah dia ditetapkan sebagai tersangka. Hanya beberapa saat kemudian Anas memasang status pada BBM-nya dengan tulisan, "Nabok Nyilih Tangan". Kalimat berbahasa Jawa itu berarti menampar dengan meminjam tangan orang lain.
Penetapan status tersangka oleh KPK terhadap Anas terasa antiklimaks bagi Ketua Umum PB HMI 1997-1999 ini. Terkait proyek Hambalang, Anas berulang kali membantah keterlibatan dirinya. Bahkan, pada 9 Maret 2012, di kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, Anas menyatakan, "Satu rupiah saja Anas korupsi Hambalang, gantung Anas di Monas." Dalam Pemilu 2009, Anas bersama Angelina Sondakh dan Andi A. Mallarangeng tampil sebagai bintang iklan kampanye Partai Demokrat yang terkenal dengan slogan "Katakan Tidak pada Korupsi". Namun kini sebagian bintang iklan kampanye itu dituduh korupsi. Ironis memang!
Penetapan Anas sebagai tersangka sejalan dengan harapan Majelis Tinggi Partai Demokrat, yang menginginkan agar Anas berfokus pada kasus hukum yang tengah dijalaninya. Dengan status sebagai tersangka, semakin terbuka peluang Majelis Tinggi Demokrat mengambil alih peran Anas. Penetapan Anas sebagai tersangka oleh KPK otomatis membuat Ketua Umum Partai Demokrat itu harus mundur, sesuai dengan pakta integritas yang ditandatangani semua kader Partai Demokrat.
Penetapan Anas sebagai tersangka kasus korupsi menjadi babak baru di tubuh Partai Demokrat, sekaligus jalan terjal bagi Anas. Kiprah Anas dalam dunia politik Indonesia termasuk cemerlang. Ia sempat diharapkan menjadi tokoh muda penuh harapan. Sayang, kasus korupsi menyebabkan karier gemilang itu bak hancur ditelan bumi. Politikus muda kelahiran Blitar ini mengawali perjalanan politiknya ketika berkuliah di Universitas Airlangga, Surabaya, melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Di kampus itu, ia belajar jurusan ilmu politik. Anas pun lulus sebagai mahasiswa teladan dan lulusan terbaik.
Anas kemudian melanjutkan pendidikan di Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan meraih gelar master ilmu politik dengan tesis "Islamo-Demokrasi: Pemikiran Nurcholish Madjid". Anas pun pernah menjabat Ketua Umum PB HMI periode 1997-1999. Dan pada 2001-2005 terpilih sebagai komisioner KPU setelah sebelumnya duduk dalam Tim Sebelas yang mempersiapkan pembentukan KPU. Seusai Pemilu 2004, Anas masuk Partai Demokrat, lalu terpilih sebagai anggota DPR periode 2009-2014. Namun jabatan Ketua Fraksi Demokrat ia tinggalkan, karena ia terpilih sebagai ketua umum partai.
Kini, karier politik Anas terancam hancur. Anas pun terancam pidana penjara selama 20 tahun, karena sangkaan menerima hadiah atau janji terkait proyek Hambalang. Pasal 12 huruf a atau b UU Tipikor berbunyi, "Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya."
Kemudian, "Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Maka, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar."
Penetapan Anas sebagai tersangka korupsi oleh KPK akan membuka pertarungan yang sesungguhnya antara kubu Anas dan kubu Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Penetapan Anas sebagai tersangka dan pengunduran diri yang bersangkutan dari jabatan ketua umum tidak serta-merta mampu menyelesaikan perseteruan yang melanda Demokrat. Selama ini Anas dijadikan kambing hitam atas merosotnya elektabilitas Partai Demokrat. Apakah dengan demikian, penetapan Anas sebagai tersangka lantas menaikkan popularitas Demokrat?
Pertama, kemerosotan elektabilitas Demokrat merupakan dampak kinerja kolektif kader-kader Demokrat yang tidak bekerja keras untuk kemajuan Demokrat. Banyak kader Demokrat menjadikan partai ini semata-mata sebagai kendaraan politik meraih kekuasaan dan jalan mulus korupsi. Dengan menjadi anggota lembaga legislatif dan eksekutif, terbuka kesempatan melakukan korupsi. Kader-kader oportunis dan partisan ini justru mempercepat pembusukan Demokrat dari dalam. Celakanya, mayoritas pendukung Demokrat adalah massa mengambang yang kepercayaan publik dan loyalitasnya layak dipertanyakan.
Kedua, semakin tidak adanya daya tarik Demokrat dalam menghadapi Pemilu 2014. Tertutupnya peluang SBY mencalonkan diri sebagai presiden dalam Pemilu 2014 mendatang menyebabkan Demokrat kehilangan figur pemersatu yang mampu merapatkan barisan kader-kader. Faktor SBY tidak ada duanya di tubuh Demokrat. Karena itu, penurunan elektabilitas dapat dimaknai sebagai hukuman publik atas buruknya kinerja pemerintahan SBY sekaligus Partai Demokrat yang terbelit kasus-kasus korupsi.
Ketiga, boleh jadi ungkapan-ungkapan Anas, seperti "Politik Sengkuni" dan "Nabok Nyilih Tangan", yang diungkapkan di media sosial merupakan ungkapan kegundahan hati Anas yang tidak berdaya di hadapan senior-senior Demokrat yang berharap Anas segera mengundurkan diri. Dengan demikian, bisa jadi Anas justru menuai simpati karena telah "dizalimi" oleh rezim.
Pertarungan antara SBY dan loyalis-loyalis Anas diperkirakan semakin terbuka di hari-hari mendatang. Ini karena loyalis-loyalis Anas cukup mengakar di daerah-daerah. Bukan tidak mungkin penetapan Anas sebagai tersangka diikuti dengan pengunduran diri kader-kader Demokrat pendukung Anas di daerah. Karena itu, penetapan Anas sebagai tersangka bukanlah akhir dari babak "goro-goro" Partai Demokrat. Di masa mendatang, bisa jadi justru Demokrat kian babak belur manakala gagal mengkonsolidasi kader-kader di daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar