Kamis, 07 Februari 2013

Anomali Pemberantasan Narkoba


Anomali Pemberantasan Narkoba
Saharuddin Daming  ;   Mantan Anggota Komnas HAM
MEDIA INDONESIA, 06 Februari 2013


ISU penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif berbahaya lainnya (narkoba) kembali merebak dalam wacana publik pascapenggerebekan yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap empat selebritas papan atas bersama 13 orang lainnya di kediaman Raffi Ahmad, Minggu (27/1) dini hari. Meski belum terbukti seluruhnya sebagai pelaku, fenomena tersebut semakin melebarkan pintu keprihatinan kita terhadap intensitas proliferasi kriminal narkoba dalam masyarakat.

Betapa tidak, data statistik BNN menyebutkan kasus penyalahgunaan narkoba selalu memperlihatkan tren yang meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2011 tercatat 30.073 kasus, meningkat 12,57% dari 2010 sebanyak 26.714 kasus.

Ironisnya, diferensiasi pelaku kriminal barang haram itu telah menjangkau elemen masyarakat dengan membentur dinding anomali yang sangat beragam. Selain menghinggapi kalangan mapan, dewasa, remaja, hingga anak anak, mereka sudah menjangkau para elite termasuk selebritas. Dunia medis selama ini menjadi referentor ancaman bahaya penyalahgunaan narkoba sehingga steril dari ingar-bingar penyalahgunaan narkoba. Namun, semua itu kini tinggallah isapan jempol belaka. 
Sejumlah paramedis hingga dokter yang sangat paham tentang risiko medis penyalahgunaan narkoba kini justru menjadi pecandu hingga distributor.

Anehnya, meski upaya preventif telah dilakukan berbagai kalangan dalam bentuk kampanye penyadaran publik tentang konsekuensi serius penyalahgunaan narkoba, tingkat kriminalitas musuh bersama itu justru memperlihatkan konfigurasi diametral yang berbanding terbalik dengan ekspektasi publik. Padahal, kurang apa pranata hukum menempatkan perbuatan tersebut sebagai extraordinary crime dengan ancaman pidana mati bagi pengedar, bandar, dan produsen?

Semua kalah oleh godaan narkoba yang sangat meng giurkan. Selain sugesti kenikmatan pamungkas yang mampu menaklukkan kekuatan penalaran logis, narkoba punya daya magnet sebagai simbol kemapanan dan gaya hidup glamor. Akibatnya banyak kalangan papa memaksakan diri demi memenuhi hasrat hedonistis mereka yang sarat akan bahaya multidimensional. Tak hanya itu, narkoba kini juga menjadi praktik bisnis yang paling seksi dan menjanjikan.

Buktinya, kalangan residivis tetap mampu mengendalikan bisnis ilegal tersebut meski berada di balik jeruji besi. Begitu dahsyatnya stimulasi profit bisnis narkoba sehingga mampu menciptakan anomali dalam hukum pasar.

Meski supply and demand terus meningkat, harga tidak pernah turun sebagaimana yang berlaku dalam sistem pasar pada umumnya.

Tidak mengherankan jika peredaran narkoba di era kekinian telah meluluhlantakkan hampir sebagian besar benteng pertahanan secara multistruktural.

Peran Aparat

Paling krusial jika hal itu menjangkiti aparat penegak hukum yang menjadi ujung tombak pemberantasan narkoba melalui law enforcement. Tak ayal lagi, mereka tak kuasa membendung rayuan maut narkoba dengan segala daya pikatnya. Sudah banyak diberitakan sejumlah jaksa bahkan hakim hingga pengacara terlibat kasus narkoba. 
Demikian pula anggota Polri sebagai gugus terdepan dalam pemberantasan narkoba kini justru menjadi bagian dari mata rantai perdagangan barang haram itu.

Segelintir petugas Polri di semua tingkatan berani mengedarkan kembali narkoba dari hasil sitaan, ada pula yang bermain mata dengan tersangka hingga petugas dimaksud `bermain' tangkap lepas. Si aparat tega melepas bandar narkoba dengan dalih tahanan luar alias wajib lapor. Tentu saja dengan imbalan uang yang bisa dipakai untuk hidup mewah.

Lebih hebat lagi, atasan yang bersangkutan rela mengkhianati sumpah jabatan demi melacurkan diri sebagai pemeras kepada para tahanan narkoba. Ada yang sekadar berpura-pura memberi teguran hingga bermasa bodoh, bahkan ada yang malah memberi dukungan secara diam-diam kepada anggotanya.

Tak hanya itu, mereka kerap berkoordinasi dengan sesama penegak hukum untuk mengatur jalannya proses hukum di semua tingkatan peradilan. Dengan demikian, terjadinya pelemahan atau penumpulan pedang hukum dimungkinkan. Semua tentu dilakukan karena tiap pihak kecipratan porsi yang lebih besar daripada sindikat bisnis narkoba.

Kecenderungan seperti itu merupakan akibat dari sikap para penegak hukum yang terkesan setengah hati menggulung jaringan pengedar/penyalah guna narkoba. Betapa tidak, meski sebagian besar pelaku sudah ada yang divonis hukuman mati dan pelaku lainnya terpaksa ditembak karena berusaha melarikan diri dari penyergapan, semua itu ternyata tak membuat para pelaku jera apalagi bertobat karena didukung dan dilindungi aparat penegak hukum sendiri yang telah menjadi jaringan mereka. Lebih celaka lagi, dalam membidik sasaran, polisi diberi wewenang oleh aturan hukum untuk menjebak. Hal itu rentan disalahgunakan untuk menghancurkan reputasi seseorang.

Hampir merupakan rahasia umum bahwa demi menjerat target sasaran, polisi telah menyiapkan dan meletakkan narkoba di tempat tertentu pada lokasi penggerebekan. Semua sangkalan dengan saksi bahkan sumpah sekalipun dari calon tersangka akan selalu dianggap alibi oleh polisi. Lebih parah lagi, jika suatu ketika kita tibatiba menerima paket kiriman narkoba dari pengirim yang sama sekali tak memiliki hubungan kepentingan dengan kita, tetapi petaka kriminal sudah tak terelakkan lagi melekat pada diri kita. Meski kita berupaya membela diri dengan cara apa pun, polisi bahkan mungkin publik akan tetap bersikap apriori.

Padahal, paket itu boleh jadi hanyalah skenario polisi sendiri atau pesanan kalangan tertentu untuk membunuh karakter kita yang mungkin dianggap sebagai rivalnya.
Hal itu semakin diperparah dengan kewenangan Polri termasuk tes urine yang memonopoli kebenaran nyaris tanpa check and balance secara efektif. Meski ada mekanisme di internal Polri seperti Irwas dan Propam, yang berwenang melakukan pemeriksaan dan penindakan terhadap praktik abuse of power di lingkup Polri, mekanisme tersebut sering tidak fair dan efektif karena lebih melindungi sesama anggota atas dasar solidaritas korps. Kompolnas yang harusnya memutus mata rantai praktik kongkalikong polisi yang terlibat penyalahgunaan jabatan juga tak dapat berbuat maksimal lantaran kewenangan yang sangat terbatas.

Setali tiga uang juga tampak pada lembaga praperadilan yang menurut KUHAP berfungsi untuk mencegah abuse of power di lingkup Polri, tapi justru lebih banyak membeo dan mengamini apa saja yang dilakukan polisi. Namun, anomali yang sangat vulgar dalam penyalahgunaan narkoba tertuju pada lembaga yang kerap memberikan grasi dan remisi kepada terpidana narkoba. Demikian pula putusan hakim, khususnya pada tingkat Mahkamah Agung, yang berani mengubah pidana mati atau seumur hidup dengan hukuman yang lebih ringan. Semua dengan alasan kemanusiaan kalau bukan rekayasa riwayat peran pelaku. Begitulah nasib pemberantasan narkoba yang penuh dengan anomali. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar