Kamis, 07 Februari 2013

Ancaman Kemewahan


Ancaman Kemewahan
Ali Rama ;  Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengurus Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)
REPUBLIKA, 06 Februari 2013


Sejarah adalah catatan perjalanan panjang manusia menuju masa depan, kumpulan masa lalu menuju hari esok, dan pembuka gerbang untuk menyongsong masa depan. Sejarah tidak hanya rentetan peristiwa, tetapi merupakan kumpulan gambar yang menyingkap prestasi dan kegagalan, kecemerlangan dan kemalangan, serta kejayaan dan kehancuran.

Ia, menurut Khurshid Ahmad (2007), laksana cermin yang dapat memotret setiap episode jatuh bangunnya suatu bangsa atau peradaban. Jatuh bangun suatu bangsa punya mekanismenya sendiri. Maju karena ada faktor dan pemicunyanya, mundur pun seperti itu. Alquran menempatkan faktor moral dan materi sebagai penentu atas maju dan mundurnya suatu bangsa. 

Salah satu pemicu kemunduran suatu bangsa menurut Alquran adalah hidup bermewah-mewah (taraf) atau orang kaya yang hidup bermewah-mewah (mutraf). Alquran banyak menguraikan perilaku kaum yang suka bermewah-mewah alias kaum mutraf ini, di antaranya, dalam QS al-Isra:16, al-Waqi\'ah: 45, as-Saba: 34- 37, Huud: 116, dan lain-lain. 

Kandungan QS al-Isra':16, misalnya, secara jelas menegaskan bahwa kemewahan berpotensi menjadi ancaman terhadap kelangsungan suatu bangsa. Jika penguasa suatu negeri hidup berfoya-foya, ini akan mengantar mereka melupakan tugas-tugasnya serta mengabaikan hak-hak orang kebanyakan dan membiarkannya hidup miskin. Sehingga, mengundang kecemburuan sosial. 

Jika ada penguasa yang hanya untuk keperluan pernikahan menghabiskan miliaran rupiah untuk pesta penyelenggaraannya sementara rakyat nya masih banyak yang menderita kelaparan dan kemiskinan, ini akan menjauhkan penguasa dan rakyatnya. Dan, ini menjadi benih-benih mun culnya disloyalitas terhadap pemim pinnya. Disloyalitas ini tentunya akan menghambat terjadinya proses pembangunan.

Ibnu Khaldun memperkenalkan siklus peradaban (muncul, berkembang, dan hancur). Pada awalnya, terjadi transformasi dari masyarakat primitif menjadi masyarakat kota, di mana agama menjadi faktor pembentuk dari solidaritas (ashabiyah) pertumbuhan dan perkembangannya. Saat mencapai puncaknya, terjadi pemusatan kekuasaan dan tirani, kesantaian dalam menikmati buah kekuasaan dan menumpuk kekayaan, hidup bermewah-mewah, berfoya-foya, serta hidup bermalas-malasan.

Saat berada di puncak kejayaan itu, sebenarnya sedang meluncur ke tahap kehancuran dan kemunduran. Artinya, kemewahan (taraf) adalah fenomena yang melekat secara niscaya dalam proses peradaban ketika suatu masyarakat eko nomi dengan jaringan ekonomi yang sangat sederhana (primitif), tingkat kesejahteraan dan kemakmuran yang rendah berkembang menjadi masyarakat kota yang berkelimpahan materi. 

Kemewahan, menurut Ibnu Khaldum, memiliki dampak pada dimensi moral dan ekonomi. Pada dimensi moral akan melahirkan sifat kemalasan, ketidakpedulian, dan hedonisme yang ber dampak pada produktivitas dan kreativitas yang rendah. Akhirnya berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. 

Sementara, dimensi ekonomi terlihat pada tingginya tingkat konsumsi (konsumerisme), khususnya pada barang- barang mewah. Sehingga, menyebabkan ketimpangan pertumbuhan sektor ekonomi dalam perekonomian.

Dampak kerusakan perilaku bermewah-mewah para penguasa akan jauh lebih besar dibandingkan dengan kemewahan kehidupan rakyatnya. Adanya kekuasaan ditangannya, bisa saja penguasa menyuburkan budaya korupsi untuk melangsungkan kehidupan kemewahannya. 

Ada begitu banyak pejabat di negeri ini yang karena terobsesi hidup dengan kemewahan lalu menggunakan kekuasaannya untuk mengakses sumber- sumber pendapatan yang tidak halal. Tidak bisa dimungkiri, banyak pejabat di negeri ini tidak seimbang antara pendapatan resminya dengan kehidupan kemewahannya. 

Pertumbuhan ekonomi kita yang sekitar 6,3 persen itu ternyata ditopang oleh konsumsi dalam negeri dan kontribusi dari sektor non-tradeable. Artinya, kualitas pertumbuhan ekonomi kita lebih banyak dibanjiri oleh produk-produk konsumerisme dan jasa yang identik dengan kehidupan kemewahan.

Sementara, di pulau-pulau terpencil di negeri ini masih banyak yang kebutuhan dasarnya belum terpenuhi. Mereka kelaparan, buta huruf, putus sekolah, pengangguran, dan menghadapi permasalahan sosial lainnya. Artinya, sektor produksi lebih banyak terfokus pada produksi barang-barang sekunder (hajiyat) dan tersier (tahsiniyat) dibanding dengan kebutuhan dasar ekonomi (dharuriyat). Di sisi lain, jurang pendapatan antarmasyarakat juga semakin memprihatinkan, terlihat pada rasio gini yang semakin besar, 0,41 persen. 

Kehidupan yang bermewah-mewah dan berfoya-foya akan menjadi ancaman serius bagi solidaritas dan integrasi masyarakat kita. Apalagi, di saat penduduk masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Jika menggunakan ukuran kemiskinan sesuai standar internasional, yakni dua dolar AS per hari, warga miskin Indonesia sekitar 100 juta jiwa atau 42 persen dari jumlah penduduk. 

Kemiskinan dan kesenjangan pendapatan berpotensi melahirkan kecemburuan, perselisihan, dan konflik sosial. Karena sudah mengidentifikasi potensi kemunduran bangsa akibat kehidupan yang bermewah-mewahan (mutraf), agama pun menawarkan solusi. Agama menganjurkan untuk hidup yang seimbang dan sederhana sesuai dengan standar hidup yang berlaku di masyarakat, tidak berlebih-lebihan dalam bertindak, tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu, dan tidak mementingkan diri sendiri. 

Agama menganjurkan kehidupan yang sederhana, yaitu antara keborosan dan kebakhilan. Ia juga menganjurkan bagi mereka yang diberi nikmat materi yang lebih untuk menyuburkan sikap kedermawanan berupa zakat, infak, dan sedekah.

Yang perlu dicatat adalah Islam itu agama yang memiliki keberpihakan yang sama kepada yang kaya dan miskin, tidak seperti kapitalisme yang terlalu berpihak kepada orang kaya (borjuis). Islam juga bukan sosialisme yang terlalu berpihak kepada orang miskin (proletar). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar