Selasa, 26 Februari 2013

Ancaman Anas Riil atau Gertak Sambal


Ancaman Anas Riil atau Gertak Sambal?
Tjipta Lesmana  Pengamat Politik Senior, Mantan Asisten Ombudsman Indonesia
SINAR HARAPAN, 25 Februari 2013


Sebentar lagi Anas akan duduk di kursi pesakitan sebagai seorang terdakwa.
Sekitar 20 jam setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus Hambalang, Anas Urbaningrum menggelar jumpa pers di kantor pusat Partai Demokrat di Kramat Raya, Jakarta Pusat.

Selama 30 menit, Anas tampak berusaha tenang menghadapi puluhan wartawan dari beragam media massa. Suaranya jelas, terkadang kata per kata diartikulasi dengan perlahan dan jelas, seperti anak kelas 2 Sekolah Dasar sedang membaca cerita “Ini Didi, itu Dudi….”

Berbeda dengan penampilannya seminggu sebelumnya usai Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat di Hotel Sahid, kali ini ekspresi wajah Anas serius, nyaris tidak ada senyumnya yang khas. Wajahnya sedikit kucel, pertanda kurang tidur malam hari sebelumnya. Kepada siapa pesan yang disampaikan dalam jumpa pers itu, sama-sama kita bisa “meraba”.

Dalam pernyataannya yang ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia, khususnya para petinggi Demokrat, lebih khusus lagi kepada Susilo Bambang Yudhoyono, pendiri dan pemimpin tertinggi Demokrat, Anas antara lain menandaskan bahwa, “Hari ini saya nyatakan ini baru sebuah awal langkah-langkah besar.

Hari ini saya nyatakan bahwa ini baru halaman pertama. Masih banyak halaman berikut yang akan kita buka dan baca bersama, tentu untuk kebaikan kita bersama. Ini bukan tutup buku, tetapi pembukaan buku halaman pertama.”

Bagi banyak orang, pernyataan Anas dinilai sebagai ancaman atau intimidasi. Anas bukan tidak tahu bahwa tidak sedikit orang berpendapat karier politiknya sudah tamat setelah dirinya ditetapkan sebagai tersangka. Minggu depan atau dua minggu lagi, pemeriksaan Anas sebagai tersangka digelar di KPK.

Tidak lama lagi Anas akan duduk di kursi pesakitan Pengadilan Tipikor. Setelah itu, sel tahanan sudah menunggu Anas. Namun, pernyataan Anas Sabtu, 23 Februari 2013 seolah mengingatkan mereka yang berpikir begitu simplisitis.

“Tunggu dulu, Bung! Pengenaan status tersangka kepada saya bukan suatu akhir, melainkan permulaan. Ini baru halaman pertama dari sebuah skandal Hambalang. Tunggu! Saya akan buka halaman-halaman berikut buku tersebut, dan Anda akan saksikan betapa dahsyat efek yang ditimbulkan dari pembukaan dan pembacaan bersama halaman-halaman buku berikutnya!”

Membuka halaman buku berikutnya mengandung arti “Saya akan ceritakan semua, saya akan bongkar kasus Hambalang.” Tergantung sampai halaman berapa buku Hambalang akan dibuka Anas di KPK atau di pengadilan Tipikor.

“Kalau memang diperlukan, kalau saya dikorbankan seorang diri, saya akan telanjangi semua kasus Hambalang. Siapa saja yang makan duit haram Hambalang, dan ke mana saja aliran duit haram tersebut, saya akan buka buku Hambalang hingga halaman terakhir.”

Apakah ancaman Anas Urbaningrum semata-mata gertak sambal atau memang riil?
Dalam ilmu komunikasi ada sebuah teori yang disebut fear-arousing communication, teori menggertak. Seorang komunikator mengancam melakukan X kepada komunikan dengan tujuan tertentu. Jika komunikan tidak melaksanakan apa yang dikehendaki komunikator, ia harus menanggung risikonya.

“Nyawa atau mobilmu!”

“Kalau berteriak, kubunuh kau!”

Itu contoh-contoh sederhana komunikasi yang mencerminkan teori menggertak.
Menjelang dijatuhkan para wakil rakyat di DPR pada pertengahan 2001, Gus Dur mengancam paling sedikit ada delapan provinsi yang akan merdeka jika dirinya dilengserkan. Menurut Gus Dur, sejumlah pemimpin dari Madura, Manado, Tapanuli, dan Jawa Timur siap mendukung dirinya dalam perseteruan dengan DPR. Mereka siap menarik provinsinya dari Indonesia jika dirinya dijatuhkan MPR.

Fear-arousing communication merupakan taktik komunikasi yang sering digunakan dalam perang urat saraf, pertempuran militer, dan politicking. Hitler, para pemimin dan komunis ketika melawan negara-negara “Nekolim”, semua menggunakan fear-arousing communicationEfektifkah taktik komunikasi tersebut?

Efektivitas komunikasi menggertak amat tergantung persepsi lawan terhadap kemampuan komunikator merealisasi ancamannya. Jika lawan percaya bahwa komunikator sungguh mampu melancarkan serangan seperti yang dilancarkan komunikator, besar kemungkinan ia akan berkapitulasi.

Maka, efektivitas ancaman Anas Urbaningrum sangat tergantung persepsi dan keyakinan kubu SBY, apakah Anas sungguh memiliki kemampuan melancarkan “serangan Pearl Harbour” ke arah mereka. Konkretnya, apakah Anas benar-benar memiliki data pamungkas untuk membuka semua borok seputar kasus Hambalang? Namun, kalaupun Anas punya data lengkap, apakah ia memiliki keberanian untuk membukanya? Anas dan konco-konconya tentu harus berpikir 10 kali sebelum meluncurkan senjata pamungkasnya.

Ini permainan politik, Bung! Jangan lupa, dalam permainan politik “golok” bisa saja tiba-tiba melayang dari penjuru mana pun yang sama sekali tidak kita duga. Siapa pun akan gelap mata dan siap melakukan tindakan apa pun jika permainan politik sudah memasuki tahap kritis yang disebut to kill or to be killed.
Apa kira-kira yang akan dibuka Anas di KPK sebagai lembaran-lembaran berikut buku Hambalang?

Yang ditunggu-tunggu publik, siapa saja sesungguhnya yang “makan” uang haram Hambalang? Anas diyakini memegang kartu truf. Selama ini tampak ia tenang dan selalu senyum-senyum sambil membantah keras menerima uang setiap kali ditanya. “Anas satu rupiah terima dari Hambalang, Anas digantung di Monas!” itu kata-kata yang keluar dari bibir Anas. Lantang sekali. Namun, kini Anas sudah tersangka. Penjara seolah sudah di ambang mata. Masihkah Anas mau tutup mulut?

Kalau dia tidak rela jadi “korban konyol”, ia harus berani buka telanjang. Apakah ada petinggi Demokrat yang lebih tinggi kedudukannya daripada Anas yang ikut menikmati Hambalang? Apakah benar miliaran komisi Hambalang mengalir ke tim sukses Anas saat Kongres Partai Demokrat di Bandung pada 2010 sebagaimana diutarakan Nazaruddin dan sejumlah saksi di pengadilan?

Jika Anas di pengadilan kelak berani speaks the truth, nothing but the whole truth, tsunami politik pasti akan mengguncang Indonesia. Namun, jika Anas tidak berani, publik akan menuding Anas cuma gertak sambal atau omdo alias omong doang, dan sekian banyak orang tidak sabar menunggu-nunggu Anas di lapangan Monas.

Cerita halaman berikut buku Hambalang, tentu tergantung keberanian KPK untuk memaksa Anas membuka halaman-halaman buku tersebut. Jika pimpinan KPK percaya tsunami politik tidak bisa dihindarkan apabila semua pihak buka-bukaan di pengadilan hingga mengguncang sendi-sendi kekuasaan di republik ini, kumaha naon? Ah, kita atur main yang sedang saja deh. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar