Jumat, 01 Februari 2013

Alam Sebagai Pemangku Kepentingan


Alam Sebagai Pemangku Kepentingan
Jalal ;  Aktivis Lingkar Studi CSR
KORAN TEMPO, 01 Februari 2013



Akhirnya, terkuak juga alasan mengapa Jakarta tak merasakan banjir sebesar yang diperkirakan sebelumnya. Koran Tempo (25 Januari 2013) memberitakan soal rekayasa cuaca yang dilakukan atas permintaan Gubernur Jakarta Joko Widodo. Rekayasa tersebut berhasil menghindarkan Jakarta dari kerusakan yang lebih parah akibat banjir. Namun itu hanyalah upaya jangka pendek, yang tak bisa terus-menerus diandalkan. Persis sebagaimana dinyatakan sang gubernur, pekerjaan besar dan jangka panjang untuk mengurusi segala hal yang terkait dengan banjir Jakarta sudah menanti begitu puncak musim hujan terlewati.
Banjir besar di Jakarta pada Kamis (17 Januari 2013) dan kejadian-kejadian sebelumnya sebetulnya mengajarkan kepada kita semua ihwal hubungan manusia dengan alam. Filsuf Francis Bacon pernah menyatakan dalam kitab Novum Organum : "Nature, to be commanded, must be obeyed." Kita tak akan bisa memanfaatkan alam dengan baik apabila tidak menghormati hukum-hukumnya. Seluruh kejadian banjir sesungguhnya hanya perwujudan dari hukum alam yang seluruhnya sudah diketahui, namun, sayangnya, tak banyak dipatuhi. 
Persoalan ketidakpatuhan manusia terhadap hukum alam ini menjadi kajian khusus para sosiolog lingkungan. Sikap tidak patuh, sombong, dan merasa lebih istimewa dibanding makhluk lain yang ada di alam itu dilabeli sebagai Human Exemptionalism Paradigm (Catton dan Dunlap, 1978). Paradigma tersebut telah membuat banyak konsekuensi negatif untuk alam, dan pada akhirnya juga menyengsarakan manusia, sebagaimana yang kita lihat pada berbagai kejadian banjir di Jakarta. Karena itu, sangat mendesak bagi manusia untuk meninggalkan paradigma sesat itu. Kita tak bisa lolos dari hukum alam, sehingga seharusnya membangun paradigma yang lebih masuk akal, yang melihat diri sebagai bagian integral dari alam, yang oleh kedua sosiolog tersebut diberi nama New Ecological Paradigm.
Perwujudan dari kedua paradigma tersebut masuk ke berbagai cabang ilmu, di antaranya manajemen. Dalam teori pemangku kepentingan, misalnya, terdapat perdebatan antara aliran yang menyatakan bahwa alam adalah pemangku kepentingan dan yang menyatakan bahwa hanya manusialah yang berhak dianggap sebagai pemangku kepentingan. Bapak Teori Pemangku Kepentingan, Edward Freeman, tidak secara otomatis memasukkan alam sebagai pemangku kepentingan (Freeman, 1984), namun menyatakan para aktivis lingkungan sebagai pemangku kepentingan. Muridnya, Robert Phillips, secara tegas menolak masuknya lingkungan sebagai pemangku kepentingan (Phillips, 2003). 
Namun ada banyak pemuka teori ini yang kemudian membantah pendirian guru-murid tersebut. Karena pemangku kepentingan adalah pihak yang bisa mempengaruhi dan terpengaruh oleh pencapaian tujuan, secara otomatis Carroll (2004) memasukkan alam sebagai pemangku kepentingan. Betapa tidak? Kita hidup di alam, mendapatkan sokongan sumber daya alam untuk hidup, dan apa pun yang kita lakukan akan sedikit-banyak berpengaruh terhadap alam. Analisis hukum yang dilakukan oleh Brown-Weiss (1990) membawa pada kesimpulan yang sama, bahkan ia melabeli alam sebagai pemangku kepentingan yang fundamental. Driscoll dan Starik (2004) memeriksa berbagai atribut pemangku kepentingan, dan menyimpulkan bahwa alam adalah pemangku kepentingan primordial.
Jalan yang ditempuh Driscoll dan Starik, yaitu menguji atribut pemangku kepentingan--kuasa, legitimasi, urgensi, dan kedekatan--bisa kita lakukan atas kasus banjir di Jakarta, untuk sampai kepada pendirian kuat bahwa alam memang pemangku kepentingan, sehingga penghormatan dan kepatuhan manusia terhadap hukum-hukumnya menjadi niscaya. 
Kuasa adalah derajat kemampuan untuk mempengaruhi. Banjir yang baru saja berlalu menggambarkan bahwa kekuatan alam mampu menghilangkan kekayaan manusia senilai triliunan rupiah dalam waktu yang singkat. Para pengusaha merugi karena hilangnya jutaan jam kerja, lewatnya peluang bisnis, atau bahkan harus membayar ganti rugi. Kalau akuntansi lingkungan dipergunakan untuk menghitung hilangnya kesuburan lahan dan kemampuan lahan dalam menyimpan air dan hal-hal terkait dengan preseden banjir, keperkasaan alam tak bisa dibantah lagi. 
Legitimasi alam juga kokoh. Ia dihormati oleh sumber hukum mana pun: agama, adat, maupun negara. Sangat jelas, tak ada agama dan adat yang membolehkan manusia merusak alam. Sedangkan kecenderungan hukum positif di Indonesia juga semakin menunjukkan keberpihakan terhadap alam, termasuk yang terkait dengan pelestarian fungsi hutan dan DAS.
Banjir besar terjadi di Jakarta pada 2002, 2007, 2012, dan kembali terjadi pada 2013. Walau masih perlu dibuktikan secara ilmiah, benak masyarakat umum pasti menyetujui bahwa banjir mempunyai kecenderungan semakin parah. Para pakar perubahan iklim menyatakan bahwa efek gas rumah kaca akan membuat permukaan laut meninggi, dan karenanya air sungai akan semakin sulit dibuang. Di masa mendatang, air laut akan semakin mendekat dan "menelan" daratan. Ini berarti urgensi untuk mengatasi banjir sangatlah tinggi. 
Bencana alam sebenarnya relatif jarang dirasakan oleh mereka yang tinggal di Jakarta, namun atribut kedekatan benar-benar mengejawantah ketika banjir menyergap Jakarta. Alam yang selama ini diabaikan kelestariannya tiba-tiba mendekat untuk menunjukkan bahwa dampak apa yang dilakukan oleh manusia di tempat tertentu telah menjalar ke tempat lain. Kalau perspektif lebih luas hendak digunakan, mereka yang berada di Jakarta-lah yang banyak mengambil keputusan buruk terkait dengan kawasan hulu. Karena itu, banjir juga bisa dianggap sebagai "upaya" alam untuk "berbicara" kepada mereka yang telah membuat sungai-sungai kehilangan daya tampungnya. 
Kini, telah dibuktikan bahwa alam adalah pemangku kepentingan. Alam terpengaruh sekaligus mempengaruhi manusia dalam mencapai tujuannya, dan memenuhi seluruh atribut pemangku kepentingan. Karena itu, tidak ada alasan lagi untuk mengabaikan alam dalam keputusan apa pun yang kita buat --sebagai pemerintah, perusahaan, organisasi masyarakat sipil, maupun individu-- kecuali kalau kita ingin terus menghadapi bencana banjir dan banjir bencana di masa mendatang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar