Minggu, 10 Februari 2013

Ahok Bukan “Kapitein der Chinezen of Batavia”


Ahok Bukan “Kapitein der Chinezen of Batavia”
Stevanus Subagijo ;   Peneliti pada Center for National Urgency Studies Jakarta
SINAR HARAPAN, 09 Februari 2013


Wakil Gubernur Pemerintah Provinsi, Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok -tanpa mengurangi rasa hormat- adalah “angpau” terbesar bagi ketionghoaan dan kemajemukan di negeri ini. Jabatan wakil gubernur di provinsi sekaligus ibu kota merupakan bukti kepercayaan dan cara pandang yang sangat maju dari kemajemukan urban masyarakat Jakarta. Ahok bukan prototipe “pranawa” (peranakan China-Jawa) yang selama ini dominan mengisi ketionghoaan di negeri ini. Ini karena Tionghoa di Jawa lebih dekat dengan pusat kekuasaan kolonial Belanda di Jawa, sehingga kiprahnya lebih menonjol.

Sebagai bukan Tionghoa Jawa tetapi Tionghoa Bangka Belitung atau Sumatera, Ahok menampilkan ketionghoaan yang lebih lugas, langsung, tanpa tedeng aling-aling, rasional dan kadang berintonasi meninggi. Ini berbeda dengan personifikasi Tionghoa Jawa yang njawani dan sikapnya yang lebih ngapurancang (mendekapkan kedua tangan di bagian depan perut) wujud sikap lebih mengalah dan nrimo. Ketionghoaan dengan begitu sangat beragam, tak ada definisi tunggal tentang Tionghoa Indonesia, masing-masing mengisinya dengan karakter dari budaya masyarakatnya di mana ia tinggal.

Runtuhnya Diskriminasi
Terpilihnya Ahok adalah puncak kegamangan ihwal diskriminasi Tionghoa selama ini, tapi akhirnya bisa dilewati dengan mulus. Jauh sebelum Ahok terpilih di Jakarta, ia terpilih lebih dahulu sebagai Bupati Belitung Timur. Kita harus berterima kasih pada masyarakat Belitung Timur yang telah memilihnya sehingga ada Tionghoa Ahok dipercaya sebagai puncak eksekutif di sana. Meski sentimen etnik bermunculan ketika seorang minoritas berupaya memimpin mayoritas yang berbeda, tetapi kepercayaan masyarakat Belitung Timur dulu menunjukkan bahwa masyarakat harus bebas memilih kandidat potensial, siapa pun dia dan apa pun latar belakangnya. Kemajuan masyarakat Belitung Timur untuk tidak tunduk pada kriteria primordial seperti seagama, seetnik, dan seterusnya menunjukkan bahwa saat ini mengusung primordialisme sudah bukan jaminan. Mereka yang dipercaya dan dituakan dalam bidang agama, yang dipercaya hidupnya suci dan alim ketika dipercaya memimpin sebuah partai politik justru mengingkari kepercayaan itu dengan korupsi. 

Upaya masyarakat Belitung Timur lepas dari primordialisme ketika memilih Ahok, terulang di Jakarta ketika masyarakat metropolitan yang majemuk memilih Jokowi-Ahok. Padahal, sentimen ras dan agama sangat kuat menerpa Ahok, tetapi masyarakat Jakarta bisa juga menjauhi primordialisme. Logikanya demikian karena Jakarta lebih majemuk dan terbuka dibanding Belitung Timur. Semua ini menunjukkan bahwa Jakarta menjadi teladan nasional dalam meruntuhkan sekat diskriminasi, khususnya Tionghoa dalam berkiprah sebagai pemimpin bangsa. Selama ini ketionghoaan sebatas dijatah, menjadi menteri yang ditunjuk oleh presiden. Tapi dengan terpilihnya Ahok secara langsung, pelajaran demokrasinya ialah masyarakat memilih Tionghoa dan bukan presiden, sehingga kesadaran antidiskriminasi masyarakat sangat tinggi.

Perubahan harus diraih melalui semua cara dan semua kalangan yang mampu mengusung perubahan itu. Selama ini perubahan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan selalu bersumber dari tokoh primordial sehingga mereka yang seagama, seetnik dan seterusnya yang lebih sering terpilih untuk memimpin. Dengan keluar dari patron primordial ini, seorang Ahok bukan dilihat Tionghoanya atau Kristennya, tetapi dilihat kemampuannya untuk ikut melakukan perubahan yang lebih baik bersama Jokowi. Tentu kita akan melihat prestasi Jokowi-Ahok beberapa tahun ke depan, bisa sukses bisa pula stagnan atau buruk. Pelajarannya masyakarat belajar bertanggung jawab atas pilihannya. Jika Ahok gagal masyarakat dewasa akan melihat kegagalan itu objektif dan bukan karena etnik atau agamanya. Di sini masyarakat berusaha memilah antara kinerja Ahok yang bisa diukur, dan fakta etnik atau agamanya di sisi lain sebagai urusan takdir dan privat yang tidak bisa dibawa-bawa. 

Sentimen ras dalam soal panggilan “china”, yang pernah dialami Ahok ternyata tidak mempan membuat Ahok tersinggung dan menggunakan kekuasaannya untuk merespons. Responsnya netral-netral saja, mendiamkan dan membuat soal “china” itu menjadi tidak berarti apa-apa. Sindrom “china” yang dialami Tionghoa sebetulnya hanya buang-buang waktu. Upaya berbagai pihak untuk “jangan panggil aku china” (JPAC) dalam berbagai media buku, sinetron, puisi, blog dan seterusnya kontraproduktif karena secara tidak langsung sudah mengakui panggilan itu merendahkan dan menghina. Padahal, politik bahasa rasial lewat panggilan atau sebutan “china”, “indon”, “niger/negro” dan seterusnya memang bertujuan agar mereka yang dipanggil itu tersinggung, marah dan merasa terhina sehingga diri dan mind set mereka mendapat pengakuan dan stigma sosial bahwa mereka itu memang seperti itu. Tujuannya agar mereka tetap berkubang dengan nasibnya yang buruk sehingga tidak mengancam keberadaan si pembuat politik bahasa rasial.

Menanti Ahok yang Lain
Dengan hadirnya Ahok di panggung Jakarta yang otomatis lebih tersorot secara nasional, membuat masa depan ketionghoaan dalam keindonesiaan diharapkan semakin baik. Ketionghoaan harus terus berupaya dicangkokkan ke dalam budaya masyarakatnya di mana ia tinggal. Ahok yang tinggal di Jakarta yang majemuk dan berbasis budaya Betawi sebagai tuan rumah, akan menciptakan pengaruh-memengaruhi dengan hadirnya ketinghoaan ala Jakarta yang majemuk atau yang berciri khas Betawi. Strategi budaya ini penting dan harus ditumbuhkan dan bukan dibiarkan tumbuh liar apa adanya. Dengan keterlibatan Ahok dalam pemilihan bupati, wakil gubernur dan mungkin akan ada Ahok-Ahok yang lain dalam pemilihan ketua partai politik, ketua koperasi, ketua BUMN, atau kandidat jenderal militer atau polisi, sampai ketua RT/RW, akan mewarnai keindonesiaan dengan lebih baik. 

Jika itu tercapai maka Ahok bukan milik Tionghoa saja. Ahok bukan romantisme napak tilas ala Kapitein der Chinezen of Batavia Souw Beng Kong, kapitan China pertama di Batavia, di mana peran kapten atau mayor China pada zaman itu menjadi pemimpin komunitas China perantauan (hoakiao) agar Belanda lebih mudah mengatur keberadaan mereka. 

Ahok juga bukan titipan Tiong Hoa Hwe Koan di masa lalu yang hanya Tionghoa minded, untuk kepentingan Tionghoa saja. Dengan membebaskan Ahok dari sindrom kapitein der chinezen, Ahok mempunyai tugas lebih luas dan tak dibatasi oleh dinding primordial terutama etnis atau agama. Ahok hanya berakar Tionghoa Kristen yang bertanggung jawab di provinsi majemuk multietnik, multiagama dan multi-multi yang lain, di mana semua harus diperjuangkan untuk menjadi lebih baik nasib dan keadaannya. Terpilihnya Ahok, seperti Nusantara di masa lalu yang membuka diri terhadap berbagai pengaruh budaya asing dari pedagang Persia, India, China sampai Barat. Jika kita bisa memelihara kemajuan ini dan mengubur sentimen primordial maka Indonesia akan dikembangkan dengan objektivitas problem dan profesionalisme kinerja dan prestasi pemimpin-pemerintahan, untuk mempercepat ketertinggalan dari bangsa lain. Selamat Imlek. Hayya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar