Minggu, 03 Februari 2013

Ada Apa dengan Sunat Perempuan?


Ada Apa dengan Sunat Perempuan?
Musdah Mulia ;   Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)
MEDIA INDONESIA, 02 Februari 2013

  
Pengantar :
KONTROVERSI soal praktik sunat pada perempuan muncul kembali pekan lalu. Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyatakan Peraturan Menkes No 1636/2010 merupakan peraturan terkait dengan praktik sunat perempuan, yang diperuntukkan demi melindungi keselamatan perempuan. Bila ditinjau dari sisi medis, praktik khitan perempuan tidak ada manfaatnya sama sekali. Itu justru menempatkan nyawa anak perempuan dalam bahaya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan khitan merupakan bagian dari ajaran agama Islam dan termasuk bagian ibadah, yang sangat dianjurkan bagi umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan. Untuk mengetahui lebih jauh pembahasan soal praktik sunat pada perempuan tersebut, kami munculkan tulisan dari dua pakar hukum Islam, yang juga merupakan guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

MASYARAKAT di berbagai belahan dunia sejak lama berupaya menghapuskan sunat perempuan. Sikap itu juga diikuti sejumlah negara Islam seperti Mesir, Suriah, Turki, Maroko, dan Tunisia. Demikian pula Indonesia sejak 2004 melalui Kementerian Kesehatan mengeluarkan peraturan tentang larangan praktik medikalisasi sunat perempuan. Sunat perempuan tidak mendatangkan kemaslahatan sedikit pun, terutama dari aspek medis.

Mesir menetapkan UU yang melarang keras pelaksanaan sunat perempuan. UU tersebut merujuk ke Fatwa Ulama Mesir Tahun 2007 yang melarang pelaksanaan sunat perempuan. Demikian pula di tingkat internasional, PBB melalui Pasal 12 CEDAW (Konvensi PBB Tahun 1979 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) secara tegas melarang praktik sunat perempuan dan menganggapnya sebagai bentuk nyata kekerasan terhadap perempuan.

Akan tetapi, Peraturan Menteri Ke sehatan No 1636 Tahun 2010 tentang Sunat Perempuan memicu timbulnya kontroversi. Peraturan tersebut jelas bertolak belakang dengan keputusan sebelumnya dan menyalahi sikap PBB dan WHO serta sebagian besar dunia Islam.

Kecenderungan menguatnya praktik sunat perempuan di Indonesia terjadi setelah era reformasi seiring dengan menguatnya gerakan Islamisme di Indonesia pascajatuhnya Orde Baru.

Mengapa Muncul Peraturan Menteri Kesehatan?

Peraturan Menteri Kesehatan Tahun 2010 menegaskan sunat perempuan ialah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris tanpa melukai klitoris. Selanjutnya, menjelaskan secara rinci bagaimana melakukan sunat perempuan secara benar sesuai dengan aturan kesehatan serta siapa yang berhak melakukannya.

Problemnya, peraturan itu justru menyebutkan sunat ialah tindakan menggores vagina dengan benda tajam dan bahkan memotong klitoris. Praktik menggores dan memotong klitoris justru merupakan hal yang asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebagian besar masyarakat melakukan sunat perempuan dengan cara simbolis, antara lain dengan memoles sepotong kunyit pada klitoris. Lalu, siapa yang dapat memastikan pelaksanaan sunat perempuan dilakukan sesuai dengan aturan?

Sebenarnya, peraturan itu dibuat dengan niat baik untuk mencegah praktik sunat perempuan yang membahayakan sehingga perlu semacam panduan, bukan sebagai instruksi agar sunat perempuan dilakukan. Akan tetapi, peraturan tersebut dipahami keliru di masyarakat. Peraturan tersebut dibaca sebagai arahan atau imbauan agar melakukan sunat perempuan. Fatalnya , sejumlah RS dan klinik men jadikan peraturan tersebut sebagai rujukan untuk mewajibkan sunat perempuan.

Hal itu sungguh memprihatinkan mengingat sejumlah penelitian mengungkapkan, dalam praktiknya, sunat perempuan lebih banyak menimbulkan bencana (dharar) bagi perempuan sehingga perempuan mengalami gangguan sepanjang hayat, terutama terkait dengan hak dan kesehatan reproduksinya.

Sejumlah hasil observasi terhadap sunat perempuan di Indonesia menunjukkan telah terjadi pemotongan genitalia sekitar 75% kasus dan dari kasus tersebut, banyak perempuan mengeluhkan timbulnya rasa sakit yang parah. Sunat dapat mengakibatkan perem puan tidak bisa menikmati hubungan seksual dalam pernikahannya. Bahkan, dari sisi psikologi seksual, sunat dapat meninggalkan dampak seumur hidup berupa depresi, ketegangan, rasa rendah diri, dan tidak sempurna. Secara fisik, dampak langsung sunat perempuan antara lain perdarahan, shocked, tertahannya urine, dan luka pada jaringan sekitar vagina. Perdarahan dan infeksi itu pada kasus tertentu akan berakibat fatal dan tidak sedikit membawa risiko berupa kematian.

Melacak Sejarah

Istilah sunat dalam bahasa Arab dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Bagi laki-laki disebut khitan dan secara etimologis berarti memotong. Berbagai buku fikih klasik menjelaskan khitan ialah memotong kuluf (menghilangkan sebagian kulit) yang menutupi hasyafah atau kepala penis. Adapun sunat perempuan dalam bahasa Arab disebut khifadh ber asal dari kata khafdh, yang artinya memotong ujung klitoris.

Sejumlah studi menyimpulkan sunat perempuan dilakukan pertama kali di Mesir jauh sebelum Islam lahir dan sebagai bagian dari upacara adat yang diperuntukkan bagi perempuan, khususnya mereka yang telah beranjak dewasa. Tradisi sunat perempuan di Mesir timbul akibat pengaruh budaya Romawi.

Tradisi sunat perempuan justru tidak umum dilakukan di wilayah asal turunnya Islam, yaitu Arab Saudi. Demikian pula wilayah Islam lainnya seperti Suriah, Libanon, Iran, Irak, Yordania, Maroko, Aljazair, dan Tunisia. Bahkan, Turki yang bermazhab Hanafi tidak mengenal praktik sunat perempuan.

Berbagai Alasan

Umumnya umat Islam yang melakukan sunat perempuan menyebut alasan keagamaan. Mereka meyakini sunat merupakan kewajiban dalam Islam walau secara historis berasal dari tradisi luar Islam. Sunat dianggap sebagai proses mengislamkan. Jika tidak disunat, tidak diperkenankan membaca Alquran dan melakukan salat lima waktu. Pemahaman tersebut sungguh keliru karena keislaman dan keimanan seseorang tidak ada hubungannya dengan sunat. Bahkan, sunat tidak termasuk pembicaraan tentang rukun Islam dan rukun iman.

Selain alasan keagamaan, ada banyak mitos seputar praktik sunat perempuan. Misalnya, sunat diyakini untuk menjaga kelangsungan identitas budaya. Alasan lain lagi, untuk mengontrol seksualitas dan fungsi reproduksi perempuan. Masyarakat meyakini sunat membuat gairah seksual perempuan dapat dikontrol. Perempuan dilarang memiliki hasrat seksual yang menggebu-gebu karena akan membahayakan masyarakat.

Perspektif Islam

Islam ialah agama yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, termasuk di dalamnya nilai kesetaraan semua manusia dan kesederajatan laki-laki dan perempuan. Karena itu, Islam mengajarkan kenikmatan seksual merupakan hak bagi perempuan dan laki-laki, hak kedua pihak, istri dan suami.

Penting dicatat, tidak ada perintah Alquran untuk melakukan sunat perempuan. Argumen teologis yang digunakan kelompok prosu nat perempuan bukan berasal dari Alquran, melainkan diambil dari kitab fikih, dan itu pun hanya didasarkan pada sejumlah hadis lemah (dhaif), antara lain hadis Ahmad ibn Hanbal, “Khitan (sunat) itu dianjurkan untuk laki-laki (sunah) dan hanya merupakan kebolehan (makrumah) bagi perempuan.“

Walau dalam hadis itu disebutkan sebagai suatu kebolehan, dalam banyak hadis lain ditegaskan, kalaupun seseorang mau melakukannya, lakukanlah dengan tidak melukai vagina. Ahmad ibn Hanbal bahkan menyampaikan hadis lain yang mengatakan praktik sunat tidak dilakukan pada masa Rasul SAW.

Islam datang untuk membawa kemaslahatan bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin), terlebih untuk semua manusia: perempuan dan laki-laki. Praktik sunat perempuan dalam faktanya lebih banyak menimbulkan kemudaratan karena dilakukan secara sadis dan tidak manusiawi. Kaidah hukum Islam secara tegas mengatakan, kalau suatu perbuatan lebih banyak mendatangkan mudarat (keburukan, bahaya dan bencana) daripada kemaslahatan (kebaikan, faedah dan manfaat), perbuatan itu dinilai makruh dan harus ditinggalkan.

Landasan hukumnya sangat jelas, yakni kaidah hukum Islam berbunyi: la dharara wa la dhirar (segala bentuk tindakan yang mengakibatkan kemudaratan dan kerusakan harus dihapuskan). Pelaksanaan sunat perempuan harus dihentikan karena tidak memberikan manfaat medis sedikit pun bagi perempuan. Itu bahkan berpotensi merusak organ tubuh perempuan dan mengganggu fungsi reproduksi. Wallahu a'lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar