Selasa, 05 Februari 2013

Ada Apa dengan Demokrat?


Ada Apa dengan Demokrat?
M Alfan Alfian ;  Dosen Pascasarjana Ilmu Politik 
Universitas Nasional, Jakarta
  
SINDO, 05 Februari 2013


Headline harian Seputar Indonesia (4/2/2013) menyorot ada tekanan kuat dari anggota Dewan Kehormatan Partai Demokrat (PD) Jero Wacik dan yang lain untuk menggeser Ketua Umum Anas Urbaningrum, menyusul diumumkannya hasil survei Saiful Mudjani Research and Consulting (SMRC) bahwa elektabilitas partai ini tinggal 8%. 

Menurut Jero Wacik, selama ini Anas telah menyandera PD, dan tidak ada cara lain kecuali meminta Ketua Majelis dan Ketua Dewan PD Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menyelamatkan partai. Dan, satu-satunya jalan adalah melalui kongres luar biasa (KLB). Faksi anti-Anas memang seperti memperoleh dalih pembenaran dari hasil survei SMRC itu. Kepuasan terhadap kinerja SBY 56%, tetapi elektabilitas Demokrat hanya 8%. 

Kemudian muncul kesimpulan bahwa selama ini Anas telah gagal meningkatkan elektabilitas partainya. PD memang tengah mengalami ujian besar pasca-kasus hukum Nazaruddin yang juga menyeret politisi PD lainnya. Anas memang berada dalam situasi yang dilematis dan selalu menjadi sasaran bidik faksi-faksi lain di tubuh PD. Realitas faksional merupakan hal lumrah di organisasi apa pun. Penampakan faksi-faksi itu biasanya dipicu oleh sebab-sebab khusus.

Yang dialami PD sangat spesifik, yang dikaitkan dengan kasus-kasus korupsi yang terproses secara hukum, sehingga berdampak pada anjloknya citra partai. Anas, yang berkali-kali disebut oleh Nazaruddin, walaupun posisinya ketua umum, sangat rentan terhadap opini bahwa ia telah menyandera partainya. Tekanan politik internal terus-menerus dilakukan, dari yang lembut hingga keras, agar ia jatuh. Tetapi, ia masih bertahan. 

Secara garis besar pun faksi utama PD jelas telah tergambar ke dalam faksi pro dan anti-Anas. Masing-masing pihak memiliki pembenaran. Faksi Anas meminta semua pihak mematuhi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PD. Dalih inilah yang dipakai untuk membendung arus berbagai faksi yang tampaknya sudah tidak sabar untuk menggusur posisinya. Di sisi lain, bagaimanapun Anas termasuk ketua umum partai yang punya akar kuat ke bawah. 

Setidaknya ia mampu menguatkan basis dukungannya, mengikatnya untuk tidak terseret arus faksi elite atas yang anti-Anas. Faksi anti-Anas selama ini belum mampu membuat dinamika internal PD bergejolak secara berlarut-larut dan kemudian memicu tuntutan KLB dari bawah. Isu KLB seolah berhenti di elite papan atas saja. Tidak ada efek bola salju isu KLB untuk membesar ke bawah itulah yang membuat faksi anti-Anas mau tidak mau menguatkan desakan mereka kepada SBY sebagai faktor politik utama untuk menyingkirkan Anas. 

Di PD posisi SBY sangat istimewa. Tetapi, SBY juga unik. Sejak Kongres PD di Bandung, SBY tampak tidak mampu mencegah hadir dan menangnya Anas. Padahal, yang tampak dari luar adalah dukungan kuat Cikeas kepada Andi Alifian Mallarangeng.  

SBY memang tampak sekali mencitrakan dirinya sebagai seorang demokrat. Kalau ini yang masih dipegang, tekanan faksi anti-Anas tidak akan efektif. SBY bisa saja menafsirkan bahwa desakan politik kepada dirinya oleh Jero Wacik dan yang lain sebagai upaya mendiktenya. 

SBY selama ini pula dikenal sebagai politikus yang percaya hasil survei. Tetapi, kalaupun hasil survei SMRC itu yang dijadikan dalih, apakah melengserkan Anas adalah satu-satunya jalan? Apakah, apabila Anas sudah lengser, penggantinya akan mampu melejitkan elektabilitas PD dalam waktu singkat? Kini, bagaimanapun PD telah terkena dampak berbagai kasus korupsi yang menimpa Nazaruddin dan politisi PD lain. 

Siapa pun yang menjadi ketua umum, akan menanggung dampaknya. Sebagai politikus, kelihatannya, bagi Anas, sulit bagi dirinya untuk mundur dari posisinya yang strategis di PD. Anas tentu punya pembenaran dan rasa tanggung jawab untuk memulihkan citra partai dan meme-nangkannya. Betapapun itu sulit dan butuh perjuangan ekstrakeras, dipandang lebih baik ketimbang surut ke belakang. Pilihan melengserkan Anas pun tampak meninggalkan beberapa konsekuensi. 

Pertama, apabila pelengserannya terkesan memaksakan diri, publik malah akan menilai bahwa di internal PD tengah dikembangkan budaya antidemokrasi. Bagaimanapun dalam berbagai kasus korupsi yang melibatkan beberapa politisi PD yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Anas tidak berstatus apa pun saat ini. Lain halnya apabila tiba-tiba Anas ditetapkan sebagai tersangka, sebagaimana yang menimpa Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq. 

Kedua, keguncangan politik internal PD akan makin parah. Ini disebabkan oleh arus resistensi faksi pro-Anas yang tidak saja ada di pusat, tetapi terutama juga di daerah-daerah. Ketika ini terjadi pada tahun politik 2013, apabila tidak terkendali, misalnya oleh faksi terkuat pascapelengseran Anas, justru bisa mempercepat fenomena “partai gagal”. SBY bisa saja tampil sebagai faksi paling utama, tetapi lagi-lagi ia akan dihadapkan pada situasi yang berbeda dibandingkan ketika pertama kali ia hadir di PD dan membuatnya menjadi fenomena politik yang mencengangkan. 

Secara psikologis, setelah menjabat presiden selama dua periode, SBY tentu menginginkan masa depan dirinya secara tenang sebagai Bapak Bangsa. Kalau SBY mengeluarkan banyak energi untuk membenahi partainya, tetapi dengan meninggalkan realitas konfliktual yang parah, beban politik SBY pun bertambah. Sebagai Ketua Dewan Pembina Demokrat, SBY berfungsi sebagai katalis. Tidak saja ia dituntut mampu mengelola konflik internal antarfaksi, tetapi juga mengantisipasi masa depan PD. 

Terlepas dari hasil survei SMRC dan proyeksi politik masing-masing faksi di internal PD, kalau pada tahun politik ini yang menonjol keluar adalah konflik internal yang parah, jelas-jelas ia kontraproduktif. Partai yang derajat soliditasnya tinggi lebih baik ketimbang yang sebaliknya. PD rentan konflik. Cara mengatasi konflik internal itu juga akan dinilai publik. Manakala caranya demokratis dan elegan, itu jauh lebih baik, ketimbang sebaliknya. 

Dengan atau tanpa Anas, problem PD sekarang berbeda dengan ketika partai ini ikut Pemilu 2004 dan 2009. Tantangannya kini lebih kompleks sekarang. Secara umum peluang PD untuk memenangkan kembali tidaklah sama dengan dua pemilu sebelumnya. Keberhasilan pemerintahan SBY pun belum tentu dapat melejitkan perolehan PD pada Pemilu 2014. 

Suasana psikopolitik antitesis gaya kepemimpinan SBY juga perlu disimak, di mana alternatif kekuatan dan tokoh politik di luar PD akan menjadi pertimbangan penting bagi publik untuk menentukan pilihan pasca- SBY. Soliditas yang baik tentu akan memberi peluang lebih besar bagi PD untuk tetap eksis pada Pemilu 2014. Ini tidak mudah bagi PD, terutama yang mengemuka pada tahun politik ini kemelut internal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar